Oleh: Esti D. Purwitasari
mepnews.id – “Mbak, aku nggak ngerti deh. Ini aku yang terlalu sensitif atau gimana, ya?” begitu curhat seorang teman junior.
“Memangnya kenapa, Din? Ada apa?”
“Kenapa ya aku jadi meraa terganggu banget tiap kali denger suamiku makan. Apalagi kalau makannya sampai bunyi kriuk-kriuk. Suara kunyahannya, duh… bener-bener bikin aku stres.”
“Lho..lho…lho..kayak misophonia gitu? Kamu terganggu sama suara-suara tertentu?
“Iya, terganggu sekali.”
———
Pembaca yang budiman, misophonia adalah kondisi saat seseorang memiliki reaksi emosional sangat kuat atau sangat negatif terhadap suara tertentu. Suara-suara ini bisa berupa bunyi kunyahan, bunyi napas, ketukan, atau suara kecil lain. Bagi orang pada umumnya, suara-suara semacam itu tidak terlalu mengganggu. Tapi, bagi penderita misophonia, suara-suara ini dapat memicu perasaan marah, cemas, atau bahkan panik.
Penyebab misophonia belum sepenuhnya dipahami dan masih dalam penelitian. Bisa jadi karena adanya gangguan pemrosesan suara di otak. Orang dengan misophonia memiliki respons berbeda di area otak yang terlibat dalam pengolahan suara dan emosi, seperti di insula anterior (bagian otak yang mengatur emosi dan reaksi terhadap stimulus sensorik). Pada penderita misophonia, area ini lebih aktif terhadap suara tertentu.
Misophonia cenderung lebih umum muncul di keluarga tertentu, yang menunjukkan kemungkinan faktor genetik. Beberapa orang mengalami misophonia setelah kejadian tertentu atau pengalaman emosional negatif yang terkait dengan suara tertentu. Trauma atau pengalaman buruk ini dapat memperkuat reaksi terhadap suara.
Orang dengan sensitivitas tinggi terhadap rangsangan sensorik (suara, cahaya, atau sentuhan) lebih rentan terhadap misophonia. Kondisi ini juga sering dikaitkan dengan kondisi lain seperti gangguan kecemasan atau gangguan spektrum autisme.
Ketidakseimbangan zat kimia di otak, seperti serotonin dan dopamin, juga bisa berperan dalam menyebabkan respons berlebihan terhadap suara tertentu.
Saat penelitian tentang penyebabnya masih dilakukan, misophonia diketahui dapat memiliki dampak signifikan pada kesejahteraan emosional seseorang. Karena suara-suara pemicu bisa muncul di mana saja, penderita misophonia sering merasa cemas atau tegang, terutama saat berada di tempat umum atau lingkungan sosial.
Reaksi terhadap suara pemicu sering kali sangat intens, sehingga memicu rasa marah, frustrasi, jijik, atau panik yang bisa melelahkan secara emosional. Maka, banyak penderita misophonia menghindari situasi sosial di mana suara-suara pemicu mungkin muncul, seperti makan bersama keluarga atau teman. Ini bisa menyebabkan isolasi sosial dan memperburuk kecemasan.
Karena orang lain mungkin tidak memahami atau tidak menyadari kondisi ini, penderita misophonia bisa mengalami kesulitan dalam membina hubungan dengan orang lain.
Terus, apa yang bisa dilakukan?
Agar tidak terlalu berdampak negatif, misophonia bisa dikendalikan dengan berbagai cara sesuai kondisi masing-masing orang.
Menggunakan earplug atau headphone yang meredam suara dapat membantu sekadar mengurangi dampak suara-suara pemicu. Mendengarkan musik atau suara alami (seperti suara hujan atau suara angin) juga bisa membantu menutupi suara yang mengganggu.
Teknik relaksasi, seperti meditasi, pernapasan dalam, atau yoga, dapat membantu mengelola stres dan kecemasan yang disebabkan suara pemicu. Latihan-latihan ini bisa mengurangi respons emosional terhadap suara yang mengganggu.
Mengatur lingkungan sekitar untuk meminimalkan peluang munculnya suara pemicu juga bisa sangat membantu. Jika sulit mendapatkan tempat kerja yang tenang, misalnya, coba saja menata ulang meja kerja atau memilih ruangan yang lebih sunyi.
Terapi Kognitif Perilaku bisa membantu mengubah cara berpikir dan respons emosional terhadap suara pemicu. Dalam terapi ini, penderita belajar mengurangi respons negatif atau menggantinya dengan respons yang lebih adaptif.
Terapi Eksposur dan Desensitisasi juga bisa dilakukan dengan melibatkan paparan bertahap terhadap suara-suara pemicu dalam lingkungan terkontrol. Tujuannya untuk membangun toleransi dan mengurangi respons emosional terhadap suara tersebut.
Yang tak kalah penting, mengomunikasikan kondisi ini kepada orang-orang terdekat agar mereka lebih memahami dan mendukung penderita misophonia. Dukungan dari teman atau keluarga dapat mencegah timbulnya konflik atau kesalahpahaman.
Jika perlu tindakan, silakan kontak psikolog atau terapis yang memiliki pengalaman dengan misophonia. Mereka dapat memberikan bimbingan khusus yang lebih efektif sesuai kebutuhan pribadi.
Pengelolaan misophonia membutuhkan waktu dan eksperimen untuk menemukan strategi yang paling cocok. Gabungan beberapa metode ini bisa membantu seseorang hidup dengan lebih nyaman meskipun ada suara-suara pemicu di sekitarnya.