Terbukti, Depresi Itu Memang Menular

Oleh: Esti D. Purwitasari

mepnews.id – “Ngantuk itu menular,” teman diskusi saya tiba-tiba berkata begitu.

“Iya, kah? Apa buktinya?” saya bertanya minta penjelasan.

“Coba amati mereka yang duduk membaca buku di perpustakaan lebih dari satu jam. Saat tiba-tiba ada satu saja yang menguap, maka tak lama kemudian beberapa lain ikutan menguap.”

“Oh, bener juga,” saya mengangguk. “Bukan cuma mengantuk, depresi pun juga menular.”

“Saya tahu, dan punya pengalaman. Zaman saya kos dulu, ada satu teman yang kesurupan. Tak lama kemudian, beberapa teman satu kos juga kesurupan. Usut punya usut, mereka sama-sama menghadapi ujian akhir dan tinggalnya di kamar berdekatan. Depresi bareng, dengan satu pemicu.”

“Kompak, dong. Berarti, karena faktor solidaritas?”

“Emm, menularnya depresi itu bisa karena berbagai faktor. Salah satunya karena kontak fisik.”

“Wah, gawat dong. Kalau begitu, saya nggak mau lagi nangani orang depresi. Ketularan, bagaimana?”

“Hei, dengar dulu penjelasannya. Hasil penelitian di Shanghai, Cina, menunjukkan salah satu faktor penularan depresi. Penelitian dilakukan pada tikus, bukan manusia. Ketika tikus normal dimasukkan ke dalam kandang bersama tikus depresi, maka setelah lima minggu tikus normal tersebut menunjukkan peningkatan perilaku depresi dan penanda hormonal yang menunjukkan depresi. Tertular.”

“Saya rasa itu bukan temuan baru. Sudah banyak penelitian semacam itu, bahkan terhadap manusia.”

“Betul. Yang menarik dan baru dari penelitian ini adalah kondisi kontrolnya,” kata teman saya.

“Coba jelaskan.”

“Bukannya menggunakan satu kandang besar, para peneliti di Cina ini menempatkan dinding pemisah transparan antara tikus normal dan tikus depresi. Dalam kasus ini, tidak ada penularan depresi. Ini menunjukkan kontak fisik atau mungkin semacam penularan kimiawi mempengaruhi proses penularan. Saat tidak ada kontak, tidak ada penularan. Nah, lalu peneliti melakukan serangkaian percobaan lain. Seekor tikus tidak depresi dimasukkan ke dalam kandang dengan alas tidur tikus yang depresi. Sesaat kemudian, peneliti mencatat beberapa perilaku depresi dari tikus yang semua normal itu. Level depresinya lebih ringan daripada jika para tikus dicampur dan berbaur dalam satu kandang besar.”

“Oh, itu masuk akal.”

“Tapi, bukan hanya kontak fisik yang jadi kuncinya. Para peneliti menguji faktor lain, yakni stres.”

“Oke. Stres memang faktor utama yang mengembangkan depresi. Saya menduga, yang sebenarnya menular bukanlah depresinya, tetapi stresnya. Ada banyak bukti eksperimental, dan bahkan pengalaman pribadi, bahwa stres memang menular.”

“Dalam penelitian di Cina, ketika tikus yang tidak depresi dan tidak stres dimasukkan ke dalam kandang dengan tikus yang stres, tetapi tidak depresi, mereka tidak menjadi lebih tertekan. Bahkan, mereka membantu mengurangi tingkat stres tikus lainnya.”

“Oh, begitu,” saya menimpali. “Hasil ini membuat saya lebih paham. Tapi, yang kau perlu catat, manusia dan tikus sangat berbeda. Meski temuan ilmiah pada tikus bersifat indikatif, tapi itu bukan bukti langsung tentang cara kerja berbagai hal pada manusia.”

Teman saya mengangguk, sependapat.

“Yang lebih penting, penelitian ini tidak boleh membuat kita menghindari pergaulan dengan orang depresi. Bagi saya, kontak fisik dapat membantu mengatasi stres atau depresi. Memeluk, memegang tangan, mengelus kepala orang stress atau depresi bisa membantu mengurangi penderitannya. Menurut saya, kontak fisik bukan cara memancing diri sendiri agar tertular depresi. Justru kontak fisik merupakan kesempatan untuk membuat kondisi mental orang depresi jadi lebih baik. Tentu saja kontak fisik yang benar.”

Facebook Comments

Comments are closed.