Oleh: Esti D. Purwitasari
mepnews.id – Beberapa saat lalu, saya ngobrol dengan suami tentang aktivitas trauma healing untuk korban gempa Sulawesi Barat awal 2021. Saat pemetaan lapangan di Majene, ia nyaris tidak menemukan anak stress meski mereka harus tinggal di pengungsian setelah gempa M 6,2 dan di bawah bayang-bayang kengerian gempa likuifaksi di Palu 2018.
Kami sempat berdebat tentang hal-hal apa yang membuat sangat banyak anak terhindar dari gangguan stres pascatrauma (PTSD). Argumennya mulai dari kondisi psikis, kondisi sosial, kondisi fisik anak, hingga faktor seruan pihak berwenang untuk tidak dulu tinggal di rumah menunggu sinyal aman dari BMKG.
Argumen masih berkembang bahkan sampai saya membaca hasil penelitian terbaru yang dipimpin Carmen Sandi dan Simone Astori dari Ecole Polytechnique Fédérale de Lausann di Swiss. Penelitan mereka mengungkap faktor hormonal yang mempengaruhi perkembangan PTSD.
Pembaca yang budiman, PTSD kondisi yang melemahkan mental yang muncul setelah seseorang mengalami peristiwa traumatis. Beberapa peristiwa traumatis yang dapat memicu PTSD misalna kecelakaan serius, kekerasan fisik atau seksual, perang, bencana alam, dan sejenisnya. Orang dengan PTSD bisa mengalami semacam flashback (kenangan mendalam dan berulang tentang peristiwa traumatis itu), mimpi buruk, kecemasan, mati rasa, atau hiperstimulasi (kecemasan yang tinggi dan respons berlebihan terhadap rangsangan sehari-hari).
Namun, meskipun banyak orang mengalami trauma, hanya 25-35% yang berlanjut jadi PTSD. Nah, bagi psikolog atau psikiater, memahami faktor-faktor yang membuat individu tertentu lebih rentan atau lebih kebal bisa menjadi sangat penting untuk pencegahan dan pengobatan PTSD.
Penelitian oleh Sandi dan Astori mengungkapkan, perkembangan PTSD dipengaruhi glukokortikoid yakni hormon yang dilepaskan tubuh sebagai respons terhadap stres. Penelitian ini memberikan wawasan signifikan mengenai ciri-ciri perilaku dan kondisi biologis terkait dengan kerentanan PTSD.
Mereka menemukan, perbedaan besar kadar glukokortikoid yang dilepaskan individu ke aliran darah saat stres. Tingkat glukokortikoid rendah sering tampak pada pasien PTSD setelah terpapa peristiwa traumatik. Awalnya ini diduga sebagai konsekuensi dari paparan trauma. Namun, setelah didalami, ada kemungkinan ini justru merupakan sifat yang jadi faktor risiko PTSD yang sudah ada sebelumnya.
Silvia Monari, penulis pertama hasil studi, menjelaskan: “Singkatnya, kami menyajikan bukti mekanistik –yang sebelumnya hilang– bahwa memiliki glukokortikoid rendah pada manusia adalah kondisi bagi individu yang memiliki kecenderungan kausal untuk menunjukkan faktor kerentanan terhadap PTSD.”