Oleh: Adriono
mepnews.id – Seperti halnya minum kopi, ternyata menulis antologi bisa nagihi. Bikin ketagihan. Para cikgu SMP Sekolah Alam Insan Mulia (SAIM) Surabaya tengah mengalami.
Tahun 2020, mereka sukses menerbitkan buku perdana berjudul “Digital Class ala Sekolah Alam, Inovasi Pembelajaran di Masa Pandemi.” Kini para pendidik itu bersemangat bikin seri berikutnya.
Karena karya kedua, maka prosesnya lebih bagus dibanding sebelumnya.
Dulu mereka menulis sendiri-sendiri. Selesai, naskahnya langsung disetor ke saya yang diserahi sebagai editor. Pokoknya pasrah bongkokan mau dipermak kayak apa draf naskahnya.
Sekarang tidak lagi. Draf naskahnya dipresentasikan dulu secara lisan. Masing-masing penulis menjelaskan secara ringkas ide dan arah karya tulisnya, secara bergantian.
Tempat presentasinya pun keren, di cafe Jalan Korea kawasan Jemursari, Kamis kemarin.
Bedah naskah seperti ini ternyata efektif dan mengena. Sejumlah kekuranglengkapan segera terlihat. Ada beberapa draf naskah yang teknik penulisannya terkesan biasa-biasa saja, tapi saat diceritakan secara lisan oleh penulisnya, ternyata mengandung pesan dan makna yang kuat. Agaknya ada kendala dalam hal ‘meng-kalimat-kan’ gagasan.
Ada juga naskah yang ide pokoknya sudah tertera, tapi deskripsinya kurang detail, sehingga tulisan menjadi cekak, tergesa, dan monoton. Atau sebaliknya, justru berkepanjangan lantaran boros kata-kata.
Walhasil, dengan presentasi tersebut, saya jadi lebih mengerti apa yang dimaui si penulis, yang kemauan itu belum tergambarkan dalam karya tulis. Maka saya tinggal memberikan masukan seperlunya sambil berharap naskah akan diperbaiki dan tampil ciamik. Setidaknya saat melakukan finishing touch saya punya bekal yang memadai.
Isi buku ini cukup penting, meski judulnya belum ketemu. Bahasannya tentang praktik baik (best practice) belajar mengajar yang dilaksanakan SMP alam yang berlokasi di Medokan Semampir Surabaya itu. Pembelajaran di masa transisi pembelajaran tatap muka (PTM) terbatas dengan belajar dari rumah (BDR). Para guru di sana aktif menyiasati keadaan dengan menciptakan inovasi belajar model hybrid: ya daring, ya luring.
Sungguh ini sebuah langkah strategis. Ingat, kalaupun nanti pandemi usai, keadaan tidak akan balik seperti zaman sebelum pandemi dulu lagi. Sementara siswa sudah familiar dengan daring. Maka menemukan kombinasi yang pas antara belajar daring dan luring akan menjadi metode yang andal di masa kenormalan baru.
Kelihatannya, para guru SMP SAIM telah memulainya. Mereka mau ribet mencari dan menerapkan aplikasi edukatif untuk menghidupkan suasana kelas, seperti memainkan game di Kahoot, Canva, Puzzle, Phet Colorado, hingga WordWall Arabic Maze.
Kadang guru terpaksa harus tampil dua kali ‘show‘ untuk satu mata pelajaran yang sama demi melayani siswa PTM terbatas dan siswa BDR melalui Zoom atau Google Meet. Mestinya proses itu dapat dilakukan bersamaan sekaligus, tetapi toh ada saja kendala: sinyal putus nyambung, gangguan kamera, cahaya, derau (noise), atau mikrofon yang tiba-tiba ngadat.
Semua yang dilakukan itu tentu akan bermanfaat bagi sesama pendidik. Salutnya, mereka mau berbaik hati untuk membukukannya. Dengan demikian nanti akan dapat dibaca khalayak serta bisa menginspirasi banyak guru yang berminat.
Nah, benar kan? Seperti halnya ngopi, nulis buku juga bikin nagih.
Kalau saya sih sudah tidak lagi disebut ketagihan menulis karena sudah lama kecemplung di dalamnya. Seusai bedah naskah di café Korea, saya justru terkena ketagihan baru. Lidah ndesoku jadi sok tumon krasan, kepingin menikmati lagi menu bibimbap, kimchi, dan nasi gulung kimbap.
Ah, dasar ‘kawula telih‘, kaum yang cuma ribut mikirin isi perut.(*)
Tulisan ini juga dimuat di adrionomatabaru.blogspot.com.