Oleh: Endang Puji Astutik
mepnews.id – Saat ini, 76 tahun sudah usia Indonesia merdeka. Usia yang tidak muda lagi, usia yang sudah sangat matang, bahkan sudah lansia, jika disetarakan dengan manusia.
Seiring usia tersebut, bagaimana wajah pendidikan di negeri ini? Sudahkah semua warga negara dapat mengenyam pendidikan sesuai harapan dalam pembukaan dan pasal dalam Undang-Undang Dasar Negara 1945?
Di alinea ke-4 Pembukaan UUD 1945 terdapat kalimat ‘Mencerdaskan kehidupan bangsa’. Ini merupakan tujuan pendidikan nasional yang menggambarkan cita-cita bangsa Indonesia untuk mendidik dan menyamaratakan pendidikan ke seluruh penjuru Indonesia agar tercapai kehidupan berbangsa yang cerdas.
Tujuan Pendidikan Indonesia menurut UU No.20 tahun 2003 Pasal 3: “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.”
Dari situ, pendidikan nasional mempunyai misi;
- Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan yang bermutu bagi seluruh rakyat Indonesia.
- Membantu dan memfasilitasi pengembangan potensi anak bangsa secara utuh sejak usia dini sampai akhir hayat dalam rangka mewujudkan masyarakat belajar.
- Meningkatkan kesiapan masukan dan kualitas proses pendidikan untuk mengoptimalkan pembentukan kepribadian yang bermoral.
- Meningkatkan keprofesionalan dan akuntabilitas lembaga pendidikan sebagai pusat pembudayaan ilmu pengetahuan, keterampilan, pengalamanan, sikap, dan nilai berdasarkan standar nasional dan global.
- Memberdayakan peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan berdasarkan prinsip otonomi dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Menyambut usia Indonesia ke-100 nanti, Kemendikbud saat merayakan Hari Pendidikan Nasional tahun 2012 telah mengangkat tema ‘Bangkitnya Generasi Emas Indonesia’. Tujuannya agar generasi 2045 mampu bersaing secara global dengan bermodalkan kecerdasan komprehensif antara lain produktif, inovatif, damai dalam interaksi sosialnya, sehat dan menyehatkan dalam interaksi alamnya, dan berperadaban unggul. Hal ini merupakan harapan terbesar bangsa Indonesia di tahun 2045 nanti.
Tetapi, melihat kondisi yang ada sampai saat ini, mampukah Indonesia mewujudkan itu semua? Kenyataannya, pendidikan belum merata. Di satu sisi, ada masyarakat yang mengenyam pendidikan sampai bergelar doktor serta bisa sekolah ke luar negeri. Di sisi lain, masih sangat banyak masyarakat yang hanya lulusan sekolah dasar. Bukan cuma orang tua masa lalu, anak yang baru lulus SD tahun kemarin pun ada yang tidak melanjutkan sekolah ke jenjang berikut. Padahal pemerintah sudah mewajibkan sekolah 12 tahun.
Ada banyak faktor penyebabnya. Antara lain faktor latar belakang ekonomi, lingkungan, kurangnya pengetahuan orang tua akan pentingnya pendidikan, serta tiadanya kemauan anak.
Latar belakang rendahnya pendidikan orang tua sangat mempengaruhi faktor ekonomi dan pola pikir mereka. Untuk merubahnya, tidak semudah membalikkan telapak tangan. Perlu dorongan orang-orang yang peduli pendidikan untuk bisa merubah pola pikir para orang tua terhadap pentingnya pendidikan demi mewujudkan pendidikan yang merata dan ekonomi yang lebih baik.
Dalam pendidikan anak, peran orang tua sangat menentukan. Orang tua adalah pendidik pertama dan paling utama. Namun, kenyataannya, banyak orang tua terutama di desa/pelosok yang masih kurang pengetahuan dalam pengasuhan anak serta kurang memandang penting untuk menyekolahkan anaknya. Masih banyak orang tua yang membiarkan anaknya tidak bersekolah meski lulusan SD/SMP. Bahkan ada orang tua yang menyuruh anak kerja ke kota, yang biasanya jadi tenaga kuli, pekerja rumah tangga, pelayan warung ataupun penjaga toko. Yang miris lagi, ada orang tua yang menyuruh anak menikah meski usia masih sangat belia. Tak pelak, banyak pula dijumpai janda/duda yang masih usia belia karena anak-anak ini belum siap menikah.
Untuk menyadarkan para orang tua akan pentingnya pendidikan, rasanya perlu diadakan pendidikan keorang-tuaan. Tidak hanya di sekolah, tetapi juga di luar sekolah juga harus ada parenting. Di desa-desa, masih banyak diketemukan anak-anak yang tidak sekolah. Jadi, kalau parenting hanya diberikan di sekolah, itu tidak akan bisa menjangkau orang tua yang anaknnya tidak disekolahkan.
Rendahnya latar belakang pendidikan orang tua juga berpengaruh pada pola pikir anak. Masih banyak ditemui anak desa yang kurang mempunyai keinginan belajar. Apalagi, jaman serba digital ini banyak pengaruh negatif merasuk ke jiwa mereka. Meski masih kecil, anak-anak sudah dipegangi handphone. Tragisnya, mereka lebih memilih main game daripada ilmu pengetahuan. Apa lagi jika dibiarkan melihat hal-hal yang belum layak dilihat anak-anak, seperti konten porno dan sebagainya. Di masa pandemi ini, dengan alasan sekolah daring, justru anak-anak lebih banyak bermain game daripada mengerjakan tugas yang diberikan sekolah. Hasilnya, ada anak sudah kelas 4 pun membacanya masih mengeja.
Dari pihak pendidik, sudahkah semuanya profesioanal? Guru yang ada masih banyak yang honorer dengan gaji tidak layak. Banyak dijumpai kualitas guru kompetensinya sangat rendah. Ketika mendaftar sebagai guru, mereka tidak melalui seleksi ketat tapi karena ada teman atau saudara. Karena gaji yang minimalis, peminat untuk mengajar jadi guru honorer sangat kurang. Kalaupun ada, juga tanpa melalui seleksi. Ketika ada seleksi guru P3K dari para honorer, kualitasnya juga masih dipertanyakan. Apakah hasilnya bisa dimaksimalkan? Semoga adanya Guru Penggerak bisa meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia.
Jika faktor pengetahuan orang tua, kemauan anak, dan pendidik sudah bisa diatasi, masih ada faktor biaya sekolah terutama di Perguruan Tinggi yang bisa jadi kendala bagi masyarakat dengan ekonomi pas-pasan untuk mengkuliahkan anaknya.
Melihat dari berbagai kondisi belum meratanya pendidikan seperti saat ini, dibutuhkan kerja sangat keras dari berbagai pihak untuk mewujudkan tujuan nasional mencetak ‘Generasi Emas’ 24 tahun mendatang. Bukan hanya dibutuhkan guru profesional, tetapi juga dibutuhkan guru yang mempunyai kepedulian besar dengan keadaan lingkungan masyarakat sekitar. Peran pemerintah sangat diharapkan. Bukan saja menggelotorkan dana, tapi juga memberikan motivasi dan sosialisasi akan pentingnya pendidikan terhadap masyarakat.
Di usia Indonesia yang ke-76 ini sekarang, meski keadaan pendidikan masih belum merata, kita harus tetap yakin dan harus optimistis. Semoga cita-cita mewujudkan Generasi Emas di HUT ke-100 Indonesia bisa terwujud.
Generasi Emas bukan hanya didapatkan dari orang kota, tetapi pelosok desa pun bisa memunculkan banyak generasi yang siap memajukan Indonesia dari segala aspeknya.