MEPNews.id – Temuan kombinasi obat untuk menyembuhkan pasien positif COVID-19 sudah masuk tahap izin produksi dan izin edar. Kombinasi obat temuan tim gabungan Universitas Airlangga, Badan Intelijen Negara, TNI AD, dan BPOM itu disebut sebagai obat COVID-19 pertama di dunia.
Prof. M. Nasih, Rektor Unair, dalam konferensi pers di Mabes TNI AD pada Sabtu 15 Agustus 2020, menjelaskan obat tersebut merupakan kombinasi. Namun, oleh BPOM, itu dianggap sebagai sesuatu yang baru. “Tentu karena akan menjadi obat baru, maka diharapkan ini menjadi obat COVID-19 pertama di dunia,” ujarnya.
Untuk mempercepat proses rilis kombinasi obat tersebut, Prof. Nasih meminta pihak TNI, Polri, BIN, IDI, Ikatan Apoteker Indonesia, Kimia Farma, serta Komite Penanganan COVID-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional, bahu membahu dan membuang ego sektoral masing-masing. “Yang selama ini menghambat proses pengadaan obat asli Indonesia adalah adanya ego sektoral. Hal itu menyebabkan prosesnya panjang,” imbuhnya.
Di hadapan awak media Minggu 16 Agustus 2020, Prof. Nasih kembali menjelaskan rujukan kombinasi tersebut merupakan berbagai macam obat tunggal yang telah diberikan pada pasien COVID-19 di berbagai belahan dunia. Kesimpulannya, tiga kombinasi obat ditemukan Unair dan telah uji klinis.
Tiga kombinasi itu adalah; Lopinavir/Ritonavir dan Azithromycin; Lopinavir/Ritonavir dan Doxycycline; Hydrochloroquine dan Azithromyci. “Awalnya lima kombinasi. Ada saran untuk ambil tiga kombinasi terbaik, yang dampaknya paling besar. Akhirnya kami ambil tiga tersebut karena efektivitasnya 98%. Kami sudah lakukan uji klinis dengan mengujinya secara acak di lapangan,” jelas Prof. Nasih.
Dalam uji klinis, tim Unair tidak hanya melakukan pada satu pihak dan satu tempat, tapi di 13 center di Indonesia. Masing-masing center di koorndinasi seorang dokter profesional. “Secara keseluruhan, kami hanya ada satu tim. Namun, di beberapa daerah, ada beberapa kelompok yang kami sebar menjadi 13 center,” imbuhnya.
Selaku Rektor Unair, Prof. Nasih berharap pihak BPOM memperlancar izin produksinya sehingga kombinasi obat tersebut dapat diproduksi massal untuk kepentingan masyarakat. “Kami sudah diminta oleh Kimia Farma dan Lembaga Biologi TNI AD untuk menjelaskan petunjuk teknis dalam memproduksi obat kombinasi tersebut. Kami berharap kepada BPOM untuk dapat memperlancar izin produksi.”