Oleh: Moh. Husen
MEPNew.id – Seseorang menjadi ketakutan yang sangat serius tatkala “kelemahan” dirinya diunggah oleh pihak lawan di media sosial. Disebut pihak lawan karena baginya yang disebut pahlawan hanyalah mereka yang tak mengkritiknya. Kalau dia mengkritik atau menyalahkan orang lain, pasti orang lain itu dianggap pasti salah seratus persen olehnya dan dia pasti benar. Dia tak perlu ngaku sebagai nabi setelah Kanjeng Nabi. Tapi sabdanya harus diperlakukan seperti sabda Nabi.
Beruntung Sang Maha Kuasa masih menolongnya untuk tetap menjadi manusia biasa yang bisa salah seperti manusia lain pada umumnya. Kesalahan bisa membuat orang menyadari kebaikan atau justru semakin menjerumuskan kepada multi kesalahan berikutnya, tentunya tergantung individu masing-masing. Sebagaimana keimanan bisa membuat orang bersyukur atau justru dibuat alat untuk sombong bahwa hanya ia yang imannya paling benar, juga tergantung seseorang itu sendiri.
Kemudian, entah bagaimana ceritanya atau entah bagaimana pola negosiasi “kompromi” komunikasinya, sehingga beberapa hari berikutnya saya lihat sudah tidak ada lagi kabar “buruk” satu paragraf itu di postingan media sosial yang merupakan akun asli, tak pakai nama samaran, orangnya nyata ada, alias bukan akun abal-abal. So, kini setiap orang adalah wartawan yang memiliki medianya sendiri.
Kita tidak bisa lagi berpendapat bahwa yang disebut berita adalah pemberitaan yang ditulis oleh media yang terdaftar dan terverifikasi oleh Dewan Pers. Apalagi memastikan bahwa kabar yang diunggah di medsos dipastikan hoax. Belum tentu. Bukan tidak mungkin kabar dari media pers terkadang malah memberitakan informasi yang kurang akurat dan mengalami pembiasan yang luar biasa.
Kini setiap orang bisa menjadi jurnalis. Mereka bisa memberitakan apa saja, kemudian dengan cepat bisa di-share ke mana saja. Salah satu tantangan insan pers hari ini adalah jangan sampai sajian pemberitaan pers, kalah akurat, kalah independen dan kalah detail dibanding dengan kabar medsos yang terkadang penulisnya adalah ibu-ibu di dapur, namun dalam memberitakan kondisi kekinian anak jaman sekarang di medsos, bisa lebih tajam, lebih detail, dan lebih akurat.
Dalam tulisan ini bukan berarti saya tidak miris dengan medsos. Saya miris juga karena semua orang bebas berpendapat dan jika pendapatnya dikemas sebaik mungkin akan cenderung diikuti dan dipercaya orang sebagai kebenaran. Apalagi jika penulisnya sudah “punya nama”, hampir-hampir mustahil dianggap bisa salah dan langsung ditelan begitu saja sebagai pil kebenaran.
Saya sepakat dengan Emha Ainun Nadjib yang berpendapat bahwa iqro’ atau membaca itu harus bismirobbik. Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu, bahasa Qurannya. Sederhananya, dengan melibatkan Tuhan dalam membaca, insya Allah akal sehat dan feeling kita akan dituntun oleh Allah untuk merasakan mana berita bohong, provokatif, hasud, yang justru mengipasi-ngipasi keadaan agar semakin rusuh dan tidak kondusif.
Selamat Hari Pers Nasional. Mungkin besok-besok akan ada juga Hari Medsos. Kita tunggu saja para pakar untuk meresmikannya.
(Banyuwangi, 9 Februari 2020)