Margaretha, S.Psi., G.Dip.Psych., M.Sc, dosen psikologi Universitas Airlangga
MEPNews.id – Ketika berbicara soal pemerkosaan, tak sedikit yang beranggapan penyimpangan seksual ini hanya dilakukan laki-laki terhadap perempuan. Namun, faktanya, kaum laki-laki juga kerap menjadi korban pemerkosaan seksual. Bahkan korbannya bukan saja anak kecil, melainkan juga orang dewasa.
Pakar Psikologi Universitas Airlangga, Margaretha, S.Psi., G.Dip.Psych., M.Sc., menjelaskan, “Masyarakat menganggap korban pemerkosaan pasti perempuan. Karena mindset di masyarakat adalah laki-laki itu kuat dan seharusnya bisa melawan,” ungkap Margaretha.
“Namun, faktanya tak sedikit ditemui laki-laki yang menjadi korban pemerkosaan. Sebagian mereka merasa tabu untuk melaporkan pemerkosaan yang terjadi kepadanya,” lanjutnya.
Ia menegaskan, “Pemerkosaan adalah perilaku penyimpangan seksual. Maka dari itu, tidak hanya perempuan, tapi laki-laki juga kerap menjadi korban pemerkosaan,” tegasnya.
Dalam beberapa kasus homoseksual, penderita umumnya memiliki identitas seksual yang berbeda dari hasil proses belajarnya mengenai seksualitas. Proses identitas jenis kelamin, definisi seksualitas, hingga pengalaman belajar seks untuk kali pertama yang dialami juga berbeda.
“Namun, perlu dipahami bahwa proses ini melibatkan interaksi kompleks bukan hanya faktor lingkungan, namun juga ada peran faktor genetik,” ungkapnya.
Pada dasarnya ketertarikan seksual setiap orang dipengaruhi oleh identitas seksual tiap-tiap individu. Identitas seksual sendiri merupakan bagaimana seorang berpikir mengenai dirinya sendiri berkaitan dengan siapa dia tertarik secara seksual. Identitas seksual itu yang akan menentukan orientasi ketertarikan seksual, heteroseksual atau homoseksual.
Retha menyebutkan, hal yang diinternalisasi seseorang saat kali pertama belajar tentang seksualitas memiliki peran yang sangat penting dalam membangun identitas seksual.
“Tidak semua orang melalui proses belajar identitas seksual yang tipikal. Ada juga yang mengalami proses belajar seksual secara berbeda. Proses ini terjadi penting di masa kanak-kanak hingga remaja dan akan mempengaruhi pilihan orientasi seksualnya di masa dewasa,” katanya.
Adanya keistimewaan gender tertentu di masyarakat, menurut Retha, bisa menjadi salah satu pemicu identitas seksual yang berbeda.
“Misalnya, ada anak perempuan yang dididik harus kalem, tidak bebas melakukan apa pun, harus manis, dan nurut, sedangkan anak laki-laki boleh melakukan apa pun, bebas. Kemudian si anak perempuan berpikir bahwa menjadi laki-laki lebih enak dan memutuskan mau jadi anak laki-laki. Hal ini bisa berpotensi mengembangkan identitas seksual yang berbeda,” paparnya.
Saat belajar identitas kelaminnya berbeda, lanjutnya, kemungkinan untuk berkembang menjadi orientasi homoseksual bisa muncul. Terlebih lagi saat dia mendapatkan penguatan ketika belajar seks kali pertama dengan sesama gender. (*)