Menulis dan Kepuasan Jiwa

Foto : Ilustrasi

MEPNews.id – H Chovif, pemain gendang Soneta, grup musik dangdut besutan maestro musik Rhoma Irama, di beranda Fanspage FORSA, menyebutkan bila ia bermusik bukan hanya hobi atau mengejar materi semata tetapi lebih pada aktualisasi dalam mencapai kepuasaan batin. Dan hanya dengan Soneta, ia merasa menemukan itu semua.

Prinsip demikian sepertinya bisa kita terapkan di bidang lain, khususnya di ranah keterampilan berbahasa, yakni menulis sebagai puncak keterampilan yang semestinya dikuasai oleh setiap pribadi. Khususnya bagi mereka yang telah lama berproses menekuni jalan sunyi seorang penulis.

Maka supaya tetap ada gereget serta spirit menulis yang senantiasa terjaga, ada baiknya di situ sekaligus diupayakan ke proses pencarian rasa yang berujung pada kepuasaan batin, sebagaimana pengakuan sekaligus yang dirasakan oleh H Chovif di atas.

Dengan meletakan motivasi menulis menuju ke arah sana, pasti ada rasa kebahagiaan yang begitu langgeng, ada rasa begitu jauh dari kekecewaan yang mungkin sewaktu-waktu hadir sebagai konsekuensi dari dibuatnya satu tujuan mengapa harus menulis.

Coba kita kalkulasi dengan itung-itungan kasar, apabila menulis kita arahkan guna mencari materi, menulis hanya sebatas berburu popularitas. Ujung dari proses menulis seperti ini, kita pasti akan bertemu lalu silih berganti dengan ragam kekecewaan. Terutama saat pundi-pundi materi dari hasil menulis tidak kita dapatkan, bahkan mimpi menjadi populer tak pernah terwujud alih-alih kita rasakan.

Alhasil, daripada kita telah bersusah payah menulis. Saat kita mencari-cari waktu di tengah beragam kesibukan lain lalu mau-maunya menulis. Sedangkan ending dari menulis yang kita lakukan hanyalah sebatas demikian, supaya tidak keterusan mengalami kekecewaan.

Tentu ada baiknya kita ubah serta kita revisi cara pikir kita terhadap motivasi mengapa kita menulis. Kita mesti meletakkan tujuan menulis di posisi yang tepat, sehingga kita tahu betul untuk dan apa yang hendak kita cari dari menulis.

Sebab, menulis itu kerja pikiran, menulis butuh energi ekstra, menulis perlu dorongan dari beragam faktor, baik faktor internal maupun eksternal agar stamina menulis tetap terjaga. Maka, ketika menulis diarahkan kepada proses pencapaian kepuasaan batin, menulis bukan sekadar berburu materi, alih-alih menulis hanya untuk mencari popularitas belaka.

Disitulah aktivitas menulis tidak lagi terasa menjadi beban. Andai saat diawal terasa begitu susah bahkan amat berat, sehingga bagaimana menemukan ritme yang pas guna merutinkan kebiasaan menulis, yakinlah setelah itu setiap kita akan berada di level ketagihan untuk terus menulis.

Hal ini karena, menulis telah berubah bak candu yang kita malah butuh dengannya, andai sehari saja kita tidak menulis maka ada rasa aneh bin janggal yang kita rasakan. Batin kita resah campur gelisah. Pikiran kita suntuk terasa penuh ingin tumpah bila tak segera ditulis lalu diikat jadi tulisan.

Dengan memosisikan menulis adalah proses pencapain dari rasa kepuasaan batin. Hal ini artinya, kedudukan kita berada di posisi tertinggi, sebagai bagian dari aktualisasi diri yang berujung pada kebermanfaatan bagi sesama manusia. Kebaikan yang tersebar luas bagi seluruh semesta akibat konten tulisan kita yang lahir dari hati kembali ke hati sebagai satu frekuensi yang sama antar pribadi.

(Aditya Akbar Hakim)

Article Tags

Facebook Comments

Comments are closed.