Oleh: Moh. Husen
MEPNews.id – Sembari menunggu saat yang tepat untuk launching buku saya (Tuhan Maha Pemaaf dan Maha Tidak Tega) dari penerbit, maka kali ini saya akan berceramah. Mending saya berterus terang menyatakan berceramah daripada dicurigai bahwa orang menulis itu ujung-ujungnya ya menceramahi. Baik menceramahi kesenjangan, ketidakadilan, kesewenang-wenangan, ataupun yang lain. Maka, saya ngaku saja bahwa kali ini saya berceramah.
Saya mulai saja ceramah saya ini dengan sebuah kisah suatu malam usai menghadiri hajatan pernikahan, saya dan Pak B (sebut saja begitu) duduk melingkar di warung tepi jalan dekat pom bensin yang menyediakan kopi dan gorengan. Pak B ini orangnya lucu. Kami sering guyon. Saya sering puas kalau bisa membuat Pak B ini tertawa. Karena yang mahir guyon itu Pak B. Saya tidak. Jadi saya merasa hebat kalau bisa membuat Pak B tertawa.
Beberapa hari yang lalu Pak B saya tanya, apakah ikut daftar Pilkades juga? Jawabnya tidak. Dia punya pertimbangan tersendiri untuk tidak ikut daftar. Padahal rencananya mau saya guyoni lebih lanjut, mengenai apa alasan yang kuat sehingga harus tampil menjadi Cakades. Berhubung tidak mendaftar, ya sudah. Saya sruput teh hangat pesanan saya sembari menikmati hawa dingin yang lumayan.
Nah, karena memang dasarnya Pak B ini orangnya suka bercanda, maka hampir-hampir setiap yang ia omongkan selalu menjadi lucu dan membuat saya tertawa terpingkal-pingkal. Saya ini sudah lama lupa tidak lagi mendengar cerita legendaris Pak Sa’labah di zaman Nabi Muhammad Saw. Lha, Pak B ini sembari nge-teh dengan saya dengan entengnya bercerita Sa’labah itu yang sempat “dipopulerkan” oleh almarhum da’i sejuta umat KH. Zainuddin MZ.
“Saya ini,” kata Pak B, “terkadang takut terlena seperti kisah Sa’labah yang pernah diceritakan KH. Zainuddin MZ.”
Saya spontan ketawa. “Ya Allah,” saya bilang ke Pak B, “Iya ya Sa’labah. Rasanya masih sangat lekat menempel di telinga ini tatkala dulu tahun 90an masih zaman radio, ustadz Zainuddin berceramah: Ya waila Sa’labah. Aduh celakalah Sa’labah. Membacakan hadits Nabi yang menceritakan prihal Sa’labah.”
Mungkin diantara kita masih ingat bahwa Sa’labah ini saking miskinnya sampai-sampai baju buat shalat jamaah di masjid harus bergantian dengan istrinya di rumah. Sehingga ia terburu-buru pulang dari masjid, dan suatu hari kepergok Rasul.
“Lho, kok kamu keburu pulang Sa’labah?” tanya Rasul
“Maaf ya Rasul,” tutur Sa’labah merendah penuh takdhim, “Baju saya dan istri cuma satu ya Rasul. Makanya saya cepat-cepat pulang karena harus bergantian dengan istri saya.”
Dalam cermah Zainuddin MZ dengan medok khas Betawinya itu, seingat saya begini: “Nah, berhubungan terlanjur ditanya nih, maka akhirnya Sa’labah sekalian memberanikan diri, mengatakan kepada Rasul agar didoakan kaya oleh Rasul.”
Singkat kata, setelah didoakan dan Sa’labah berjanji kalau kaya tidak akan lupa bayar zakat, Rasul memberi sepasang kambing untuk dibawa pulang.
Alhamdulillah, kambing Sa’labah ini berkembang pesat. Terus berkembang dan terus berkembang. Sampai-sampai Sa’labah gak kelihatan lagi jamaah di masjid. Sa’labah kini menjadi orang kaya. Tiap hari sibuk dengan transaksi kambingnya yang maju pesat itu.
Puncaknya tatkala Sa’labah diminta zakatnya oleh para sahabat, Sa’labah menolak. Atas penolakan inilah Rasul kemudian berkata: Ya waila Sa’labah. Aduh, celakalah Sa’labah. Lantas turunlah ayat 75-76 dalam surat At-taubah.
“Dan diantara mereka ada yang telah berikrar kepada Allah: ‘Sesungguhnya jika Allah memberikan sebahagian karunia-Nya kepada kami, pastilah kami akan bersedekah dan pastilah kami termasuk orang-orang yang shalih.’ Maka, setelah Allah memberikan kepada mereka sebahagian dari karunia-Nya, mereka kikir dengan karunia itu dan berpaling, dan mereka memanglah orang-orang yang selalu membelakangi (kebenaran).” (QS. At-Taubah: 75-76).
Saya tertegun. Ndilalah-nya Pak B ini menuturkan kisah Sa’labah saat musim Pilkades. Seakan sebuah isyarat agar jangan terlalu gampang menebar janji. Demikianlah ceramah saya.
(Banyuwangi, 18 Juli 2019)