Oleh: Moh. Husen
MEPNews.id–Wajah saya yang pas-pasan ini kalau saya unggah di akun media sosial saya, sangatlah tertolong oleh kamera handphone teman-teman yang bermegapiksel tinggi. Saya sering minta tolong difotokan pakai handphone mereka itu, sehingga wajah saya yang pas-pasan ini nampak semakin bersinar dan saya menjadi lebih sok percaya diri.
Mohon jangan baper. Hampir-hampir rasanya tidak ada orang yang tidak menyadari dan tidak mengerti bahwa wajah made in kamera handphone bermegapiksel tinggi itu tidaklah seratus persen sesuai kenyataan. Mereka sadar akan hal itu, dan dengan demikian janganlah disimpulkan mereka pecinta sesuatu yang palsu. So, santai saja. Tak perlu ribut dan debat.
Akan tetapi akhir-akhir ini saya sedang jenuh melihat media sosial. Semua yang saya baca seakan menjadi sebuah teror. Dalam membaca dan mencari ilmu, saya tidak fanatik dengan gelar-gelar akademik seperti profesor doktor. Dari siapapun bisa kita serap ilmunya: kenapa ini suka nulis politik, yang satu sukanya share ceramah, satunya getol tabligh edukasi, satunya lagi suka perang gambar meme, dan seterusnya. Semuanya itu bisa membuat kita mengerti banyak hal.
Konon, kualitas pribadi seseorang bisa dilihat dan terbaca dari setiap postingan di akun medsosnya. Tapi hal ini tidak bisa kita imani seratus persen karena medsos bisa difungsikan oleh individu untuk hal-hal yang bermacam-macam. Termasuk ada yang hanya sekedar buat kepentingan trend, guyon-guyon seperti jaman radio, atau bersilaturahmi barangkali nomor ponselnya kawan lama berganti baru. Jadi seseorang bisa sangat biasa saja di medsos, tapi sangat luar biasa manfaat dan prestasinya di dunia konkret nyatanya sehari-hari.
So, terkadang saya secara pribadi mendapat banyak hal pelajaran dari dunia medsos ini. Meskipun bagi seseorang yang lain lagi medsos itu begitu-begitu saja dan biasa-biasa saja. Biasanya dari “sekedar” medsos, saya semacam mendapatkan sebuah pemahaman atau ilmu bahwa oh ini arahnya begini, yang dimaksud begini, ini diposting agar tak terlihat sok alim atau sok menggurui, meskipun kelihatannya sebuah kritik yang sangat keras intinya ingin memberikan pencerahan disebelah sini.
Tapi akhir-akhir ini tidak. Mungkin saya sedang capek, jadinya segala sesuatunya menjadi rabun serta mendadak menjadi teror. Atau justru beginilah cerminan kualitas diri saya. Celakanya saya semacam menjadi ngelunjak dan angkuh: “Ya Allah kok mereka menjadi segelap dan sekonyol itu? Apakah mereka sedang sengaja bodoh, belagak bodoh, terus dan yakin dan mantap dengan bodohnya itu sehingga percaya bahwa mereka tidak bodoh, ataukah mereka benar-benar bodoh dan memang bodoh Ya Allah…”
Kemudian ada yang mengejek saya: “Mana ada batu, api atau air yang bodoh. Sampai kiamat batu ya batu. Api ya api. Air ya air. Kalau ketemu batu jangan mengeluh kok nggak cair. Kalau ketemu air jangan mengecam kok nggak padat…”
“He,” saya menyela agak meninggi, “ini manusia. Yang saya omongkan ini manusia. Dia bukan benda, air, api, atau batu. Perkara ada manusia yang memilih dirinya menjadi batu dan menampakkan diri menjadi batu, sehingga beresiko dicaci maki sebagai batu atau hantu sekalipun, itu lain soal. Tapi manusia tetap manusia. Dia dinamis, mampu berubah, dan berkembang. Dia bukan batu.”
“Makanya jangan suka baca medsos.”
“Lho, kok medsos yang disalahkan?”
“Kalau gitu, semua yang kamu baca di medsos jangan kamu anggap teror. Ambil hikmah dan ilmunya. Perbaiki cara pandang dan cara kamu memahami. Lapangkan dada. Beres, kan? Sekedar batu yang sampai kiamat tetap batu saja kok diaggap teror. Apakah kamu habis ini akan menggungat Tuhan: kok bikin nafsu setan, tapi dilarang mengikutinya. Kan jadi ribet harus ngurus nafsu, belum lagi ngurus perkembangan ekonomi…hahahaha…”
Saya diketawain. “Kurang ajar!” batin saya. (Banyuwangi, 19 Februari 2019)