Perbaikan Tata Kelola Mutu untuk Cegah Kontaminasi Udang

mepnews.id – Kasus kontaminasi udang beberapa waktu lalu menjadi sinyal penting bagi sektor perikanan nasional. Di balik persoalan teknis, tersimpan masalah struktural dalam tata kelola mutu dan rantai pasok yang perlu dibenahi agar tidak berdampak luas pada ekonomi dan reputasi ekspor Indonesia.

Dr Nimmi Zulbainarni, pakar IPB

Dr Nimmi Zulbainarni, pakar Ekonomi Kelautan dan Sumber Daya Alam IPB University, menyebut potensi kerugian akibat kasus ini bisa signifikan. “Udang menyumbang 36–40 persen dari total nilai ekspor perikanan Indonesia. Jika ekspor terganggu, dampaknya dapat mencapai ratusan juta dolar per tahun,” ujarnya, lewat situs resmi ipb.ac.id.

Data Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menunjukkan, Amerika Serikat menyerap sekitar 63 persen ekspor udang Indonesia dengan nilai USD477 juta pada semester pertama 2024. Jika terjadi pengetatan impor, risiko penolakan, atau re-ekspor, potensi kerugian bisa USD200–300 juta per tahun.

Selain dampak langsung, gangguan ekspor juga menekan harga udang di dalam negeri. “Setiap 10 persen penurunan ekspor dapat menurunkan harga domestik hingga 8 persen. Petambak kecil menjadi pihak paling terdampak karena biaya produksi pakan dan energi tetap tinggi,” jelas Dr Nimmi.

Ia menilai, akar masalah ini ada pada lemahnya pengawasan mutu, belum efisiennya rantai pasok, serta minimnya insentif untuk kepatuhan terhadap standar internasional. Saat ini, hanya 45 persen unit pengolahan ikan (UPI) bersertifikasi HACCP atau BAP, dan lebih dari 70 persen tambak rakyat belum memiliki sertifikasi CBIB.

“Rantai pasok yang panjang meningkatkan risiko degradasi mutu. Apalagi sebagian besar belum sepenuhnya menerapkan cold chain management. Tanpa dukungan insentif, pelaku kecil sulit memenuhi standar internasional,” ujarnya.

Dr Nimmi mengingatkan, dampak reputasi akibat kasus ini bisa meluas ke komoditas lain seperti tuna, rajungan, dan rumput laut. “Sekali citra mutu terganggu, negara importir bisa memperketat pengawasan seluruh produk laut dari Indonesia,” katanya.

Sebagai solusi, ia menekankan pentingnya reformasi sistemik melalui pengawasan berbasis risiko, digitalisasi sertifikasi, dan penerapan traceability lintas komoditas.

“Krisis ini harus menjadi momentum memperkuat tata kelola mutu agar industri perikanan kita semakin tangguh dan berdaya saing di pasar global,” pungkasnya. (AS)

Facebook Comments

POST A COMMENT.