Ketenangan Bathin, Puncak dari Kepuasan

Oleh: Budi Winarto

mepnews.id – Ada banyak orang mengistirahatkan diri demi mencapai ketenangan dan kebahagiaan. Dengan kepekaan respon tubuh yang dimiliki, mereka juga bisa mengistirahatkan tubuh saat kelelahan. Bagi petani, para pekerja keras, maupun pekerja kantoran, cara mengistirahatkan tubuh mereka antara lain dengan berhenti sejenak dari aktifitas. Berhenti sejenak guna bisa me-refresh tubuh dan fikiran. Me-refresh diri itu sangat penting dan banyak manfaatnya. Salah satunya bisa mengembalikan mood dan tenaga, meskipun hanya dilakukan sesaat.

Refreshing adalah salah satu cara yang biasa digunakan untuk menghilangkan kepenatan. Refreshing bisa dilakukan dengan berbagai cara. Misalnya, berkumpul bersama keluarga, menjalani rutinitas berolah raga, menyalurkan hobi menulis, membaca, shopping, mancing maupun pergi ke tempat-tempat wisata. Berbagai macam cara itu digunakan hanya untuk memenjarakan kepenatan agar mereka mendapatkan ketenangan.

Ada pula orang yang menggapai ketenangan dengan cara mempelajari pola hidup yang bersumber dari ilmu dan fungsi agama ketika memerintahkan kewajiban. Misalkan, bagi yang ingin mengistirahatkan pencernaan dan organ tubuh bagian dalam, puasa adalah caranya. Gerakan dan waktu sholat juga berpengaruh pada kesehatan fisik dan jiwa. Bersedekah bisa meningkatkan hormon positif dalam tubuh untuk menguatkan kesehatan jasmani dan rohani. Masih banyak lagi hal baik yang ditimbulkan dari perintah agama, yang berfungsi untuk ‘mengistirahatkan jasad’ dan ‘menggerakkan ruhani’ agar mengdapatkan ketenangan.

Ketenangan itu sebenarnya lahir dari dalam diri, terutama dari bathin kita. Ketika kebaikan dan usur kebermanfaatan diri bisa dilakukan, maka bathin kita akan puas. Kepuasan itu lahir karena dorongan yang meyakinkan bahwa kita telah menyelesaikan tugas diri dan pekerjaan sebagai manusia. Langkah yang bisa mengukur ketenangan diri adalah bagaimana kita bisa menyelesaikan apa yang sudah kita mulai.

Terkadang seseorang tidak bisa menikmati ketenangan karena belum bisa menyelesaikan apa yang sudah dimulaianya. Kehidupan di dunia ini sebenarnya pilihan. Ketika kita sudah memiliki pilihan, maka sejatinya kita sudah mengawali sesuatu itu sendiri. Ketika kita hanya bisa mengawali tapi tidak bisa mengakhiri, itu lah yang membuat ‘kegaduhan’ dalam pikiran.

Pun dengan pekerjaan sebagai rutinitas. Ketika bisa memulainya, maka kita harus bisa mengakhirinya.

Tentu pekerjaan itu beragam. Ada yang bisa langsung kita selesaikan, ada pula yang bertahap. Untuk pekerjaan yang memerlukan proses bertahap, kita harus mengenal polanya sehingga tahu bagaimana cara mengakhirinya.

Misalnya, dengan mengerjakan pekerjaan dengan prioritas yang terukur, maka pikiran kita akan dicukupkan dengan pekerjaan yang sudah kita batasi. Pembatas yang efektif itu adalah kata cukup. Dengan kata cukup, pikiran kita akan tenang.

Berbeda dengan orang yang mengerjakan pekerjaan jangka panjang tetapi mereka tidak tahu mana skala prioritasnya. Pikiran mereka tidak akan bisa tenang, karena mereka tidak tahu pekerjaan harus diakhiri di mana.

Contoh sederhana, saat menulis topik yang ingin kita selesaikan. Menulis itu ada yang bisa diselesaikan seketika, ada juga yang tidak bisa. Saat tulisan belum kita tuntaskan, dan waktunya sudah melebihi batas, maka kita harus segera cukupkan. Kata cukup itu sebagai pembatas antara menulis dan istirahat. Ketika kita paksakan, maka timbul kegelisahan yang membuat tubuh kita tidak tenang. Dampaknya, tidur menjadi terganggu karena pikiran belum bisa mengakhiri aktifitas menulis. Raga kita tertidur, tetapi pikiran tidak. Pun dengan aktifitas dan pekerjaan lainnya, tentu harus mendapatkan perlakuan yang sama.

Contoh kasus lain yang membuat diri kita tenang, kita kadang berpikir banyak orang di sekitar kita mulai berubah. Kalau berubah ke arah kebaikan, itu sih tidak masalah. Berarti kita bisa mengakhiri sesuatu dari apa yang kita kerjakan maupun pikiran. Tetapi, bagaimana kalau perubahannya itu kurang baik menurut pandangan kita? Itu bisa membikin galau. Dunia terasa sempit. Jangan-jangan itu dikarenakan pola pikir kita. Pola pikir yang hanya mampu memulai dari prasangka dan tidak bisa mengakhirinya dengan kesadaran realita. Maka, pola pikir ini harus kita cari akhirnya di mana agar ketenangan bisa kita rasakan. Untuk menemukan pola pikir yang baik, kita harus perbarui bathin kita.

Apa sebenarnya ketenangan itu?

Sebagian orang berusaha mengejar dan memaknai kebahagiaan dhahir untuk ketenangan batin. Meski kebahagiaan dhahir umumnya bisa mewujudkan seseorang jadi tenang, tetapi tidak semua. Kebahagiaan dhahir bisa saja didapatkan dari tercukupinya segala keinginan dalam kehidupan. Memiliki harta berlimpah, kendaraan mewah, dan jabatan tinggi. Hal-hal semacam itu terkadang diburu oleh manusia agar mereka mendapatkan ketenangan. Namun, tidak sedikit pula dengan semua fasilitas dan kemewahan yang didapatkan itu malah tidak memberikan ketenangan. Sebaliknya, orang semakin gelisah.

Berbeda dengan mereka yang selalu berusaha mencari ketenangan bathin. Ketenangan bathin biasanya hadir dalam diri. Itu bukan hanya berupa materi, tetapi lebih pada mengelola hati. Ketenangan bathin lebih bisa diciptakan manusia itu sendiri dengan cara memperbaiki bathinnya. Bisa melalui ketaqwaan ataupun menciptakan lingkungan yang mendorong suasana ke arah ketenangan.

Ketika seseorang mampu mengendalikan ketenangan bathinnya, tidak menutup kemungkinan ketenangan dhohir-nya juga bisa dirasa. Meski tidak kaya harta, namun hatinya cukup kaya sehingga bisa memutupi segala keinginan. Itu adalah wujud ketenangan yang bisa menimbulkan kebahagiaan sesunguhnya.

Pun di saat kita memilih Islam sebagai agama. Dengan diawali syahadat, maka kita harus bisa mengakhirinya dengan cara menggali makna dari syahadat itu sendiri. Kita harus bisa mengenal diri kita, rasul kita dan Tuhan kita. Dengan begitu, kita mengenal siapa Allah tuhan yang kita sembah dan siapa Muhammad sebagai utusan dan kekasihNya.

Dari mengenal makna syahadat, kita memiliki cukup kecerdasan spiritual yang menjadikan Islam kita kaffah. Kita juga memiliki kecerdasan sosial karena ajaran agama tentang hablum minannas. Kecerdasan intelektual akan kita miliki untuk mengawal proses tentang apa yang kita mulai dan bisa mengakhirnya dengan baik.

Wallahu’alam bishawabi.

Facebook Comments

Comments are closed.