Oleh: Esti D. Purwitasari
mepnews.id – Kata komedian Charlie Chaplin, “Saya punya banyak masalah dalam hidup. Tapi bibir saya tidak tahu itu, karena selalu tersenyum.”
Orang mengenal Chaplin sebagai bintang era 1910-an saat film masih hitam-putih dan tanpa suara. Dia bergabung dengan perusahaan Keystone Studios pada 1914, dan memperoleh ketenaran internasional sebagai komedian film pendek.
Namun, ia menjalani hidup dengan berbagai penderitaan. Ia lahir di London pada 1889 dalam keluarga miskin, dan ayahnya meninggalkan keluarga ketika Chaplin masih kecil. Chaplin dan saudara-saudaranya hidup dalam kemiskinan ekstrim, tinggal di daerah kumuh, dan cari makan di jalanan. Ibunya kena gangguan mental dan kemudian meninggal di usia muda. Saat memulai karir, Chaplin berkali-kali menghadapi penolakan dan kesulitan finansial.
Dengan make-up tebal, ekspresi wajah Chaplin membuat penonton tertawa. Gestur dan gerak tubuh mungilnya bisa membawakan cerita. Ini yang membuat ia menjadi bintang istimewa.
Lalu, apa hubungannya dengan senyum? Permasalahan hidup, termasuk penderitannya, bisa diolah menjadi ide-ide cerita yang membuat penontonnya tersenyum atau tertawa.
Senyum itu, meski hanya sepersekian detik, sudah cukup untuk membuat orang lebih mungkin melihat kebahagiaan di wajah tanpa ekspresi.
Seabad lebih setelah kehidupan Chaplin, ada penelitian University of Essex yang mengungkap kedahsyatan senyum. Penelitian yang dipimpin Dr Sebastian Korb dari Departemen Psikologi itu kembali menekankan bahwa senyum tipis sekalipun dapat membuat wajah tampak lebih gembira.
Penelitian ini terinspirasi dari teknik yang dikembangkan pada abad ke-19 oleh dokter Duchenne de Boulogne dari Perancis. Charles Darwin, yang dikenal sebagai ilmuwan teori evolusi, menerbitkan gambar penelitian Duchenne dalam buku The Expression of the Emotions in Man and Animals.
Eksperimen Duchenne menggunakan rangsangan listrik untuk memicu senyuman. Arus listrik bisa memaksa otot wajah beraksi menciptakan senyuman singkat. Namun, Dr Korb menggunakan versi modern dengan mengurangi tegangan listrik untuk memastikan keselamatan peserta penelitian dan mengontrol senyuman dengan lebih baik.
Eksperimen Dr Korb dilengkapi dengan menggunakan komputer untuk mengontrol timbulnya senyuman dengan presisi milidetik. Hasil eksperimen membuktikan, rangsangan listrik pada wajah dapat mempengaruhi persepsi emosional. Dari teknik sundut listrik ini bakal dikembangkan jadi pengobatan potensial untuk masalah depresi, gangguan ekspresi, seperti Parkinson dan autisme.
Bagi Dr Korb, ini terobosan baru. Aktivasi otot-otot wajah dengan aliran listrik yang singkat, lemah dan terkontrol, ini benar-benar dapat menciptakan ilusi kebahagiaan pada wajah yang netral atau wajah yang tampak sedih. Ini relevan untuk perdebatan teoretis tentang peran wajah dalam persepsi emosi, dan bisa digunakan dalam penerapan klinis di masa depan.
Dalam eksperimen di Essex, ada 47 orang yang jadi relawan penelitian. Dalam separuh eksperimen, otot-otot wajah diaktifkan. Separuh lainnya untuk kontrol dan pembanding. Setelah itu, para peserta penelitian diperlihatkan avatar digital dan diminta menilai apakah mereka tampak bahagia atau sedih. Ternyata, senyuman lemah selama 500 milidetik pun sudah cukup untuk menimbulkan persepsi kebahagiaan.
Bagi Chaplin, yang dibutuhkan bukan sundutan listrik tapi bekerja keras untuk mengubah tekanan hidup menjadi senyuman. Senyum diri sendiri dan senyuman orang lain di seluruh dunia.