Oleh: Teguh W. Utomo
mepnews.id – Saya, dan banyak orang lain, tentu mengenal Goenawan Soesatyo Mohamad sebagai penulis. Mas Gun, di kalangan wartawan, dikenal sebagai motor utama majalah TEMPO. Tentu saja, selain di penerbitan media, ia juga sudah cukup malang melintang di jagad sastera bahkan sejak era Orde Lama.
Yang saya biasa baca adalah ‘Catatan Pinggir’ yakni essai lumayan berat di salah satu pinggir halaman majalah. Catatan itu berisi kelebatan ide, data, dan fakta yang disusun sedemikian rupa seperti cerita. Dahsyatnya, cara penulisan catatan itu sering kali bisa membolak-balik nalar saya.
Seiring peremajaan di perusahaan, seniman kelahiran Batang pada 29 Juli 1941 ini mulai menarik diri dan lebih banyak mandeg pandhita. Namun, itu tidak membuat otak dan jemarinya berhenti berkarya. Belakangan, ia menuangkan imajinya lewat seni rupa terutama lukisan.
Bisa dipahami saat ia mengutip ucapan Simonides penyair dari Keios lebih dari 2500 tahun lalu. “Poema pictura loquens, pictura poema silens.” Ya, puisi adalah gambar yang berbicara, lukisan adalah puisi yang tanpa suara.
Maka, kalau tidak salah, saat usia sekitar 70 tahun, kritikus vokal atas pemerintah itu makin fokus melukis. Sebelumnya, imajinya lebih banyak terlontar lewat kata-kata. Kini, imajinasi itu mengalir lewat bentuk, garis, warna, dan rupa.
Sudah cukup banyak pameran tunggal untuk karya-karyanya. Saya sempat menikmati salah satunya di Orasis Art Space di Bukit Golf CitraRaya Surabaya. Pameran tunggal itu beralangsung 3 Juni hingga 13 Agustus. Namun, saya baru bisa menikmatinya pada 12 Agustus.
Di art space yang bernuansa introvert itu, saya harus termenung saat melihat sejumlah lukisan muram berukuran lebih besar di antara sejumlah lukisan kecil yang lebih berwarna ceria. Mau tak mau, saya pun terbawa berkontemplasi.
Lukisan pertama yang dipaparkan pemandu Orasis adalah ‘Di Masa Pandemi’. Lukisan oil on canvas ini langsung mengantar benak saya ke suasana kematian. Gambar kepala burung gagak hitam dengan luka merah itu mengingatkan saya pada seragam dokter era wabah Black Death abad ke-14. Bedanya, burung gagak ini mengenakan setelan baju pebisnis era sekarang. Warna dasar lukisan itu segelap kematian.
Lukisan besar berikutnya juga berlatar belakang gunung kelam. Lukisan acrylic on canvas berjudul ‘Menyeberang’ itu menggambarkan masa depan suram saat spesies terakhir manusia diantar oleh panglima cyborg menuju tempat yang tampaknya lebih aman. Ada nuansa kepunahan di dalamnya.
Lalu, ada lukisan orbituari berjudul ‘Rendra Sebagai Oedipus’. Lukisan acrylic on canvas itu jelas menggambarkan penyair WS Rendra saat tampil di drama panggung sebagai Oedipus. Kisah Oedipus Sang Raja ini muram karena mengisahkan anak lelaki yang naksir ibunya, hingga akhirnya keduanya mati terbakar.
Juga ada lukisan berjudul ‘Anak Merah’. Tampak, seorang ayah memangku anak yang leher dan kepalanya berwarna merah dan bagian tubuh lainnya tertutup pakaian. Ekspresi bocah yang digendong itu mengingatkan saya pada wajah ‘The Scream’ karya Edvard Munch.
Yang judulnya ‘Dewa Kematian’ jelas bernuansa muram. Anubis adalah dewa kematian era Mesir kuno. Kepalanya anjing, tubuhnya manusia. Dalam lukisan ini, kepala anjing disambungkan dengan sesuatu pada tubuh tegap manusia namun kakinya tak jelas karena tertutup kereta beroda dua. Entah melambangkan apa, namun warna latar belakangnya juga suram.
Lukisan oil on canvas berjudul ‘Black Lives Matter’ juga begitu. Jika dilihat judulnya, itu tentang protes di berbagai dunia terutama di Amerika Serikat setelah seorang kulit hitam diinjak hingga mati oleh polisi kulit putih dalam suatu penggerebekan. Tapi, dalam lukisan itu malah tampak Yesus Kristus terbaring dengan di atasnya terdapat kutipan Yesaya 53:3 dan kutipan penyair Toni Morisson.
Nuansa kelam juga tampak pada lukisan ‘Di Laut Dalam’ karena memang tidak ada cahaya sehingga para binatang beradaptasi dengan kehilangan penglihatan.
Lukisan ‘Moon over Bourboun Street’ juga kelam. Sinar bulan seolah mati di kehidupan malam Jalan Bourboun di New Orleans. Kalah oleh tikus ber-coat yang melambangkan perjudian, prostitusi, kekerasan, dan sejenisnya.
Lukisan-lukisan surealis Goenawan Mohamad ini memaksa saya untuk banyak berkontemplasi tentang masa-masa kematian. Emily Dickinson, dalam syair ‘Because I could not stop for Death’, menggambarkan kematian itu indah. Namun, beberapa lukisan GM ini menyiagakan saya tentang kematian yang suram dengan berbagai kompleksitasnya.