Oleh: Esti D. Purwitasari
mepnews.id – Yuk, kita ngobrol soal lupa dan turunannya. Ada yang namanya lupa, pelupa, terlupa, terlupakan, dilupakan, melupakan, dan lain-lain. Masing-masing kata ada maknanya.
Dalam psikologi, ‘lupa’ merujuk pada ketidakmampuan atau kesulitan mengingat atau mengakses informasi atau pengalaman yang telah dipelajari atau dialami sebelumnya.
Lupa jangka pendek (short-term memory lapse) terjadi ketika kita tidak dapat mengingat informasi baru yang baru saja dialami atau dipelajari. Misalnya, kita lupa nomor telepon yang baru saja diberikan seseorang.
Ada juga lupa jangka panjang (long-term memory lapse). Ini terjadi ketika kita tidak dapat mengakses informasi atau pengalaman yang telah disimpan dalam ingatan jangka panjang untuk periode lebih lama. Misalnya, lupa peristiwa masa lalu, nama orang yang dikenal sebelumnya, atau detail penting lain yang seharusnya diingat.
Para peneliti di University of Notre Dame di Amerika Serikat menemukan, kesalahan memori prospektif dapat terjadi pada siapa saja. Lupa terjadi ketika isyarat lingkungan gagal memicu ingatan seseorang tentang niat itu pada saat yang tepat, dan niat itu kemudian hilang begitu saja.
Bersyukurlah jika kita masih punya ‘lupa’. Selain menjengkelkan, ternyata ‘lupa’ juga bermanfaat bagi kondisi mental.
Masalah ‘lupa’ muncul sehingga membuat kita kesulitan dalam belajar, menganggu pekerjaan atau tugas sehari-hari, bahkan bisa berdampak fatal. Bayangkan, ada sejumlah suami yang ‘terlupa’ (tak sengaja) meninggalkan istri di pom bensin saat perjalanan mudik. Bahkan, ada orang tua yang terlupa meninggalkan bayi lima jam dalam mobil sehingga menyebabkan kematian.
Lupa yang berlebihan tentu jadi masalah serius dalam psikologi, terutama bagi ‘pelupa’. Perasaan lupa yang berlebihan atau terus-menerus dapat meningkatkan stres dan kecemasan karena seseorang merasa tidak lagi dapat mengandalkan ingatannya sendiri. Lupa berulang-ulang juga dapat menjadi tanda gangguan ingatan jangka panjang, seperti pikun, penyakit Alzheimer atau gangguan kognitif lainnya.
Tapi, ‘lupa’ juga bermanfaat. Bisa ‘melupakan’ sesuatu yang tidak baik, tidak relevan, tidak menyenangkan, ternyata bisa membuat kondisi mental kita lebih baik. Melupakan sesuatu membuat kita jadi nggak baper-an.
Lupa bisa menjadi mekanisme perlindungan untuk menyaring informasi yang tidak penting atau kurang relevan, sehingga memungkinkan kita fokus pada informasi yang lebih penting. Bagi yang pernah mengalami kenangan traumatis, lupa dapat menjadi mekanisme bertahan untuk mengurangi dampak emosional dari peristiwa tersebut. Terkadang, lupa terhadap beberapa aspek kehidupan yang kurang menyenangkan juga dapat membantu mengurangi tingkat stres dan meningkatkan kesejahteraan mental. Lupa dapat membantu kita beradaptasi dengan perubahan dan transisi dalam hidup, sehingga kita tidak terlalu terikat pada masa lalu.
Begitu juga dengan ‘terlupakan’ atau ‘dilupakan’. Pada saat sayang-sayangnya, menjadi ‘terlupakan’ atau ‘dilupakan’ tentu sangat tidak nyaman di perasaan. Saat ‘terlupakan’ atau ‘dilupakan’ oleh komunitas, kita bisa merasa kurang percaya diri.
Tapi, kondisi ini juga membawa manfaat. Saat sering terlupakan oleh orang lain, kita lebih bisa menjaga privasi dan anonimitas lebih baik. Ini dapat memberi kita kebebasan hidup tanpa banyak campur tangan orang lain atau perhatian berlebihan. Kita lebih bebas menjadi diri sendiri dan mengejar hal-hal yang penting bagi diri sendiri tanpa tekanan dari luar.
Yang sering jadi masalah adalah ‘pura-pura lupa.’ Ya, karena pura-pura itu biasanya palsu dan tidak tulus. Misalnya, kata-kata ‘lupa’ beberapa kali muncul dalam sidang kasus korupsi. Entah itu lupa beneran atau pura-pura lupa. Lebih baik nyanyi lagi Pura-pura Lupa dari Mahen saja…haha.