Mengungkapkan Rasa Syukur Lewat Petik Laut

Oleh: Dewi Uswatun Hasanah

mepnews.id – Muncar merupakan satu kecamatan di Kabupaten Banyuwangi. Karena letaknya di pesisir pantai, mayoritas penduduk asli Muncar berprofesi sebagai nelayan. Sampai-sampai, pelabuhan Muncar menjadi kawasan penghasil ikan laut terbesar di Jawa dan terbesar kedua di Indonesia.

Masyarakat Muncar terdiri dari beberapa suku yaitu; Madura, Using, Jawa, dan Mandar. Keberagaman ini membuat Muncar memiliki banyak tradisi lokal yang unik dan sangat menarik.

Sebagai nelayan, masyarakat Muncar menyandarkan hidup dari hasil tangkapan laut. Sebagai wujud rasa syukur atas berkah laut yang diterima dan sebagai doa untuk memohon berkah dilimpahkan dalam bentuk tangkapan ikan dan keselamatan kerja, beberapa ritual dilakukan masyarakat Muncar. Salah satunya tradisi petik laut yang diadakan setahun sekali.

Biasanya, petik laut dilaksanakan setiap 15 Muharam/Suro. Waktu pelaksanaannya tiap tahun bisa berubah karena berdasarkan penanggalan Qomariah dan kesepakatan pihak nelayan. Petik laut biasanya digelar saat bulan purnama, karena air laut sedang pasang dan para nelayan tidak melaut.

Tradisi ini merupakan warisan leluhur sebagai sedekah masyarakat terhadap laut yang memberi rejeki selama setahun. Rasa syukur diwujudkan dengan pemberian persembahan atau sesaji. Sesaji diarak dari rumah sesepuh masyarakat menuju ke tempat pelelangan ikan yang kemudian dilarung ke tengah samudra.

Awal mula petik laut berkaitan dengan kehadiran pelaut-pelaut Madura. Tak pelak, ornamen suku Madura sangat dominan dalam pernak-pernik tradisi petik laut.

Yang mencolok seragam pakaian Sakera berupa baju hitam dilengkapi celurit sebagai simbol keberanian. Seragam ini disiapkan khusus untuk upacara dan hanya dipakai sekali demi menjaga kesakralan. Setiap kali petik laut digelar. seragamnya selalu baru. Para Sakera ini dijadikan pengaman jalannya ritual. Mereka berjalan di depan mengawal sesaji dari lokasi upacara hingga ke tengah laut.

Prosesi petik laut diawali dengan pembuatan sesaji oleh sesepuh nelayan dan dibantu masyarakat Muncar. Sesaji utama adalah kepala kambing kendit. Ini kambing warna hitam dengan warna putih khusus mengelilingi perut. Warna hitam dan putih ini melambangkan sifat baik dan buruk manusia.

Untuk sesaji, kepala kambing dipertahankan utuh lengkap dengan isi otaknya lengkap. Sebagai tambahan, diperlukan mata kaki dan darah kambing. Hal ini agar para nelayan bekerja keras menggunakan kaki dan tangan , dan bertindak selalu menggunakan pikiran dan hati.

Selain kambing, sesaji juga berisi hasil bumi, ayam jantan hidup, pisang raja, kemenyan, serta beragam jajanan pasar. Tidak ketinggalan juga bermacam buah-buahan, umbi-umbian, sayuran, hingga kembang setaman. Bunga-bunga direndam air di wadah kuali tanah liat atau kendi. Semua sesaji memiliki arti yang secara umum ditujukan untuk para nelayan.

Setelah semua disiapkan, sesaji diarak dari rumah sesepuh menuju tempat githik disiapkan. Githik adalah perahu kecil yang dibuat sangat mirip kapal. Biasanya githik digunakan nelayan khusus untuk perahu sesaji. Panjang githik hanya 5 meter.

Semua sesaji ditata di dalam githik dengan beberapa aturan tertentu. Setelah penataan sesaji selesai, pada malam hari dilakukan selamatan, tirakatan, pengajian dan doa bersama sampai pagi. Setelah pagi, githik sesaji diarak keliling kampung lalu menuju pantai Muncar.

Sesampai di pantai tempat pelelangan ikan, sesaji disambut sekelompok penari Gandrung. Kemudian githik sesaji diangkut ke perahu besar untuk dilarung ke tengah laut. Sebelum perahu berangkat ke laut, lidah kepala kambing dipasang pancing emas sebagai simbol permohonan nelayan agar diberi hasil ikan melimpah.

Iring-iringan perahu mengawal githik isi sesaji.

Setelah itu, iring-iringan perahu bergerak menuju ke tengah laut dekat Semenanjung Sembulungan. Seluruh perahu berhenti di situ. Dipimpin sesepuh nelayan, githik berisi sesaji diturunkan dari perahu dan dijatuhkan ke dalam laut. Setelah sesaji tenggelam, beberapa saat kemudian para nelayan ramai-ramai menceburkan diri ke laut berebut mendapatkan hasil bumi pada sesaji. Para nelayan juga menyiramkan air laut yang dilewati sesaji ke seluruh badan perahu. Mereka percaya, menyiramkan air itu ke perahu bisa menjadi penolak malapetaka dan mendapat keselamatan ketika melaut.

Kemudian, iring-iringan perahu bergerak menuju Sembulungan untuk berziarah ke makam Sayyid Yusuf. Para nelayan berziarah dan berdoa, lalu melakukan ritual adat yang menjadi bagian petik laut. Para penari gandrung menari di makam, memberi hormat dan bersujud di depan pusara nenek moyang, dan berakhir dengan mengelilingi makam tiga kali.

Setelah itu, para nelayan kembali ke Muncar karena acara ritual petik laut selesai dilaksanakan.

Tradisi petik laut ini menjadi daya tarik tersendiri baik bagi masyarakat Muncar maupun masyarakat luar daerah. Sebagai bagian dari masyarakat Indonesia, tentunya kita merasa bangga dengan beragamnya adat dan kebudayaan yang kita miliki. Salah satunya tradisi petik laut di Muncar.

 

  • Penulis adalah orang asli Muncar dan bekerja sebagai guru SD di Muncar. 

Facebook Comments

Comments are closed.