Pelkudukan; Cara Tradisional Menolak Pagebluk

Oleh: Rani Wigati

mepnews.id – Bumi terkulai lemas seiring hadirnya pandemi COVID-19 sejak awal 2020. Bukan hitungan waktu yang singkat, tapi bukan pula berharap berkepanjangan. Namun, kenyataannya dunia merasakan dampak yang sama. Tidak dibedakan negara mana yang merasakan dampak terparah akibat virus ini. Semua merasakan penderitaan yang sama.

Konon virus ini muncul pertama kali di kota Wuhan, Cina, sekitar Desember 2019. Lalu, virus menyebar ke negara-negara lainnya dengan kasus kematian cukup tinggi. Banyak nyawa tak terselamatkan, banyak kerabat terpisahkan. Lalu, virus bermutasi. Pada tahun 2022, mutasinya jadi varian Omicron yang melemah sehingga tidak lagi menelan banyak korban. Varian ini bergejala persis seperti flu biasa.

Pemerintah pada awal 2021 menerapkan PPKM (Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat) mulai level 1 hingga 4 di sejumlah wilayah di Indonesia. Semua akses umum dilumpuhkan sebagai antisipasi mengurangi mobilitas warga dari satu kota ke kota lainnya sehingga penyebaran virus terkendali. Namun, PPKM juga berdampak parah pada semua sektor khususnya ekonomi.

Di Kota Banyuwangi, tatkala PPKM level 3 hingga level 4, juga terjadi pembatasan kegiatan ibadah, aktivitas wisata dilarang, dan pusat-pusat perbelanjaan juga ditutup. Pada malam hari, Bumi Blambangan jadi gelap dan senyap. Penyekatan diberlakukan di pintu masuk kota. Akses jalan raya ditutup. Terjadi pemadaman Lampu Penerangan Jalan Umum (LPJU) sebagai upaya mencegah terjadinya kerumunan masyarakat.

Tapi, kondisi masyarakat di pedesaan atau pinggir kota berbeda. Suasana malam saat PPKM di pedesaan tidak segelap dan sesunyi di kota. Sepanjang jalan di pinggiran kota atau di pedesaan nampak terang karena ada pelkudukan. Tradisi yang sudah dilakukan turun-temurun sejak jaman dulu ini bertujuan mengendalikan pagebluk (wabah penyakit).

Wujud pelkudukan adalah ritual obong-obongan (membakar) kayu layaknya sedang menyalakan api unggun. Tidak dikhususkan kayu jenis apa, seberapa panjang dan seberapa banyak yang harus dibakar. Pada dasarnya, membakar kayu itu untuk menghasilkan asap (welek) yang melambung tinggi (melkuduk). Itu berfungsi menangkap dan mematikan penyakit yang beterbangan dibawa angin.

Bagi masyarakat Banyuwangi, pelkudukan memiliki kekuatan magis untuk mematikan virus. Masyarakat Desa Boyolangu di Kecamatan Giri, contohnya. Ketika Banyuwangi dinyatakan zona merah dan masuk PPKM level 4 pada akhir 2021, teras atau pekarangan rumah-rumah warga Boyolangu dipenuhi ritual pelkudukan.

“Selepas Magrib, para kepala keluarga menghidupkan pelkudukan secara massal. Asap yang dihasilkan dari pembakaran kayu dipercaya mampu mematikan virus,” ujar Abdallah S.Ap ketua adat dari Desa Boyolangu.

Saat kayu terbakar, di atas baranya ditaburi garam. Pada saat bersamaan, masyarakat membaca sholawat dan memohon keselamatan. Hal itu dilakukan warga setempat sesuai wejangan para pendahulu agar melaksanakan pelkudukan ketika terjadi pagebluk.

Di dataran tinggi sisi barat Banyuwangi, tepatnya di Dusun Rejopuro, Kampung Anyar, Kecamatan Glagah, juga terdapat ritual pelkudukan. Abah Imam, tokoh adat di dusun tersebut, juga mengungkapkan warga membakar kayu di depan rumah masing-masing seusai sholat Magrib.

Rejopuro ini daerah wisata pemandian sungai alami yang berhawa dingin. Maka, selama pelkudukan, warga mendekati perapian tidak hanya ingin mengusir virus namun juga untuk menghangatkan badan.

“Filosofi yang bisa diambil dari ritual pelkudukan adalah upaya mengajak warga untuk rukun dan berkumpul menghangatkan badan di depan bara api di depan rumah masing-masing agar tidak tidur sebelum jam 11 malam. Jika masyarakat terbiasa tidur selepas Magrib, akan lebih mudah kedatangan penyakit,” tandas Abah Imam.

Prinsip pelkudukan sama halnya dengan fogging (pengasapan) saat mewabahnya penyakit demam berdarah. Ini simbol bahwa asap hasil pembakaran mampu mematikan penyakit yang menyebar di daerah tertentu. Karenanya, wajar fogging lebih banyak dilakukan di perkotaan karena di sana nyaris tidak ada ritual pelkudukan. Warga pedesaan atau pinggiran kota terbiasa melakukan pelkudukan sebagai upaya mengusir penyakit. Bisa dipastikan, tidak ada warga pedesaan yang terserang demam berdarah karena rutin melakukan fogging alami melalui tradisi pelkudukan.

Istilah berbeda muncul di Desa Adat Using di Kemiren, Kecamatan Glagah. Tradisi obong-obongan kayu dikenal dengan istilah baleman. Fungsinya sama, yaitu mengusir wabah penyakit.

Ketupat dan serabi digantung di pintu sebagai pelengkap tradisi menolak bala.

Indah, wanita belia penduduk asli Kemiren, mengatakan tradisi baleman dilakukan setiap usai Magrib selama PPKM Level 4 tahun 2021. Tradisi baleman diikuti aksi memasang beberapa ketupat dan kue serabi khas Kemiren dengan cara digantung di pintu masuk rumah masing-masing.

Bagi masyarakat di luar Desa Kemiren, tradisi itu bisa memicu aneka pertanyaan. Untuk apa menggantung ketupat dan serabi di pintu masuk rumah? Sampai berapa lama makanan tersebut digantung? Mengapa harus ketupat dan kue serabi? Apakah tidak bisa digantikan dengan lontong, kue kucur atau burger?

“Pemilihan ketupat dan kue serabi berdasarkan Primbon Jawa yang diugemi para sesepuh adat Kemiren. Di samping itu, dikuatkan dengan isyaroh mimpi yang datang ke pemangku desa atau orang yang sudah puluhan tahun menjaga Desa Kemiren,” ujar Indah. “Beliau juga orang yang mempunyai indra ke-6. Dianggap sebagai orang pintar yang memiliki kemampuan mistis menjaga desa.”

Tradisi menggantung ketupat dan serabi dipercaya sebagai upaya tolak bala, menghilangkan penyakit yang mewabah. Itu dilakukan hingga pagebluk hilang. Maka, jangan heran melihat makanan yang digantung dan dibiarkan hingga menjamur dan rusak dengan sendirinya.

Di bagian selatan, tepatnya Dusun Babakan, Desa Kedayunan, Kecamatan Kabat, tradisi yang sama diberi istilah obong-obong kayu. Rindy, warga setempat, menuturkan aktivitas ini dimulai sejak samar wulu yaitu menjelang Magrib, hingga kayu yang dibakar habis dengan sendirinya. “Jika menggunakan kayu jati, bara api yang dihasilkan lebih lama karena kayu ini memiliki kepadatan atau kekerasan lebih tinggi daripada kayu lainnya.”

Sekarang, terserah pada Anda apakah percaya atau tidak dengan tradisi pelkudukan yang disebut-sebut mampu mengusir pagebluk COVID-19. Yang pasti, keadaan berangsur membaik memasuki tahun 2022. Tidak ada lagi suara sirine ambulans mencekam yang berkeliaran setiap hari mengangkut peti jenazah menuju pemakaman.

Alhamdulillah!

 

  • Penulis adalah guru Bahasa Inggris dan Tim Pengelola Perpustakaan Instapustaka SMPN 3 Banyuwangi.

Facebook Comments

Website Comments

  1. Mohammad Rasyad

    Saya percaya dengan adanya adat atau tradisi lama.saya sendiri keturunan macan( singotrunan bwi kadang saya mebakar sepet saya kasih garam kasar .tujuannya sama dengan desa yg lain

    • Mohammad Rasyad

      Saya percaya dengan adanya adat atau tradisi lama .saya sendiri keturunan macan singotrunan bwi kadang saya membakarsepet kelapa lalu saya kasih garam kasar tujuannya untuk menghilangkan pagebluk.