Oleh: Adriono
MEPNews.id – Sungguh penting belajar kepada para ulama besar. Karena dari mereka kita mendapat ilmu tentang kemuliaan dan bagaimana seharusnya menjalani hidup. Apalagi bila ulama tersebut adalah tokoh besar dari bangsa Indonesia sendiri, yaitu KH Hasyim Asy’ari (pendiri Nahdlatul Ulama) dan KH Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah).
Maka saya bersyukur karena berkesempatan belajar kisah keduanya, dengan menonton film “Jejak Langkah 2 Ulama” di Aula UNUSA Surabaya, Rabu kemarin. Belajar dengan amat nikmat. Tinggal duduk empuk di aula yang representatif, menyaksikan adegan demi adegan, lalu menyerap banyak inspirasi, dan mencoba memahami perbedaan serta menjunjung persamaan.
Film buah kolaborasi Ponpes Tebuireng, Jombang dengan Lembaga Seni Budaya dan Olahraga (LSBO) Muhammadiyah ini tidak banyak mengambil sudut pandang keorganisasian, tetapi lebih banyak mengulik sisi kemanusiaan dan perjuangan mengembangkan syiar Islam.
Justru di situ kekuatannya, sehingga film garapan sutradara Sigit Ariansyah ini menghadirkan kisah yang sejuk dan menyentuh. Agaknya semangat film ini adalah untuk mengembalikan kisah historis pada tempatnya semula. Berusaha membongkar anggapan sementara pihak yang selama ini menempatkan kedua tokoh tersebut seolah-olah berseberangan.
Inilah kisah tentang santri remaja Darwis (nama kecil KH A. Dahlan) dan Hasyim yang bersahabat, karena keduanya ngaji di pesantren yang sama di Semarang. Dari mata air pengetahuan yang sama dua pemuda cerdas itu menyerap pelajaran ilmu fiqih, tasawuf, dan berbagai macam ilmu agama lainnya.
Guru mereka, Kiai Sholeh Darat, selalu mendoakan agar keduanya kelak menjadi orang besar. Dan terbukti sejarah mencatat organisasi yang masing-masing didirikan oleh keduanya menjadi dua ormas keagamaan terbesar di negeri ini hingga kini.
Betapa setiap perjuangan menegakkan kebenaran dan upaya mewujudkan cita-cita mulia akan selalu menghadapi banyak rintangan. KH Ahmad Dahlan mendapat tentangan dari warga Kauman Yogyakarta. Dirinya dituding sebagai ulama sesat lantaran berani menggeser arah kiblat masjid, karena memainkan biola, dan mengajari perempuan untuk mengaji.
Sementara KH Hasyim Ashari dan santrinya juga mendapat teror fisik dari preman bayaran dan warga Tebu Ireng Jombang yang sudah nyaman hidup dalam kemaksiatan. Bahkan kedua ulama besar ini mengalami tragedi yang sama: langgar atau pondoknya sama-sama dibakar oleh massa.
Dari “2 Ulama” kita menyaksikan, betapa sejak muda mereka adalah sosok yang haus ilmu agama, tekun belajar dari pesantren ke pesantren, bahkan ke tanah suci demi menyerap ilmu dari para ulama masyur dunia, antara lain kepada Syeh Ahmad Khatib Al Minangkabauwy, Syeh Al Bantany, dan Kiai Dimyati asal Tremas, Pacitan. “Pergilah ke Mekkah. Belajarlah kepada ulama besar di sana. Ambil ilmunya, ambil barokahnya,” pesan ayahandanya.
Dari KH Ahmad Dahlan, antara lain, kita belajar tentang pentingnya pembaharuan dalam Islam dan perlunya organisasi untuk mewujudkan cita-cita kemanusiaan. Dari KH Hasyim Ashari, antara lain, kita belajar mengenai sikap tawaduk, kesederhanaan, serta semangat untuk memperbaiki kondisi masyarakat yang bobrok moral dan ekonominya.
Tapi satu poin besar. Dari keduanya, kita belajar, betapa mereka sangat mencintai Indonesia, sama-sama berjuang melawan kolonialisme Belanda. “Agama dan negara adalah dua sisi dalam satu mata uang logam,” kata Hadratussyaik KH Hasyim Ashari menyampaikan tamsil. Maka ketika Belanda berniat merebut kembali Indonesia pada November 1945, dari Jombang beliau lantang menyerukan komando jihad: “Bahwa jihad membela tanah air hukumnya fardhu ain.”
Sementara itu KH Ahmad Dahlan menjelang wafat juga meninggalkan wasiat perjuangan yang hingga sekarang masih saja relevan untuk diugemi: “Hidup-hidupilah Muhammadiyah, jangan mencari penghidupan di Muhammadiyah.”
Kiranya dua ulama besar, yang melahirkan dua organisasi besar ini, bagaikan dua sisi sayap pada burung garuda yang gagah. Sayap NU dan sayap Muhammadiyah terus mengepak menggapai kemajuan, tetap setia mengawal keutuhan NKRI. Selamanya.