Oleh: Esti D. Purwtasari
mepnews.id – Di sela pameran dan seminar pendidikan dalam mall, saya curi waktu untuk ngopi bersama beberapa teman. Saat break sebentar ini, mata kami juga mengamati lalu lalang orang menikmati weekend. Tampak juga crazy rich pemilik jaringan mall dan property yang turun dari kantornya dengan mengenakan kemeja batik. Sontak, ini memunculkan komentar dari teman saya, “Kenapa crazy rich tidak memakai pakaian branded tapi crazy broke gemar pamer barang wuahhh yang harganya mahal?”
Memang ada banyak bukti yang mendukung komentar itu. Mark Zuckerberg ke mana-mana cuma mengenakan celana jins dan t-shirt yang warnanya itu-itu saja. Warren Buffet tinggal di rumah lamanya dan nyetir sendiri mobil tuanya. Amacio Ortega bahkan tidak pernah mau pakai dasi. Di Indonesia, Grace Tahir anak konglomerat juga ogah beli pakaian mahal dan santai saja makan di warung. Begitu juga dengan Jusuf Hamka biasa makan di warung. Sementara, banyak orang kaya baru –dan bahkan belum kaya– pamer brang-barang mewah yang belum tentu sudah dimiliki. Bahkan, kaum ekonomi menengah dan bawah lah yang memborong 75% produk barang mewah.
Nah, saya mau sedikit cerita soal crazy rich saja. Yang crazy broke, biarin saja.
Orang yang belum lahir saja sudah kaya, atau orang yang kerja keras sejak awal hingga sangat kaya, umumnya sudah bosan dengan apa yang orang awam anggap sebagai kemewahan. Luxury fatigue. Bagi mereka, kemewahan itu sudah tidak lagi menarik untuk diri sendiri dan untuk dipamerkan. Apa yang dianggap mewah oleh orang lain, mereka sudah lebih dulu mendapatkannya. Mereka tak perlu lagi pamer. Lebih baik kekayaan mereka ditanamkan ke bisnis lain atau untuk sesuatu yang yang lebih bermakna. Misalnya, berbagi bea siswa.
Secara psikologi, otak manusia itu cepat beradaptasi terhadap kesenangan. Barang mewah yang awalnya jadi sumber kesenangan, bakal tidak lagi membuat senang dalam waktu beberapa saat kemudian. Ketika baru membeli jam tangan mewah dan mahal, seseorang merasa sangat senang. Tapi, setelah beberapa waktu, standar kesenangannya naik sehingga barang mewah dan mahal itu menjadi terasa normal atau biasa-biasa saja. Diperlukan barang lebih mewah dan mahal lagi untuk dapat kepuasan, lalu kembali biasa lagi. Begitu seterusnya hingga sampai titik di mana tidak ada lagi yang terasa istimewa.
Kondisi itu digambarkan Brickman dan Campbell dalam dalam tulisan berjudul ‘Hedonic Relativism and Planning the Good Society’ (1971) sebagai hedonic adaptation. Konsep ini banyak dijadikan pijakan dalam memahami psikologi kebahagiaan modern. Otak manusia punya sistem keseimbangan emosional. Setiap kali mengalami lonjakan perasaan — baik senang maupun sedih — sistem ini berusaha menormalkan respons emosi agar tetap stabil.
Maka, respon saya terhadap komentar teman saya adalah, “Jangan silau pada orang-orang yang suka pamer kemewahan. Jangan pula terlalu terpesona pada crazy rich yang tampak sederhana. Anggap semua biasa saja. Jangan berpikir barang mewah atau pencapaian eksternal akan memberi kebahagiaan permanen. Kebahagiaan itu berkah dari Tuhan saat kita mengupayakannya.”
POST A COMMENT.