Oleh: Budi Winarto*
mepnews.id – Pemimpin adalah orang yang diberikan amanah untuk menjalankan sesuatu sesuai garis besar dari tujuan lembaga yang didirikan. Dari sejumlah pemimpin yang muncul, tentu ada perbedaan pola kepemimpinan di dalam mengendalikan apa dan siapa yang mereka pimpin. Dominannya otak yang kemudian berpengaruh pada pembentukan karakter dan kepribadian menjadi salah satu penyebab perbedaan itu.
Hari-hari ini, banyak pemimpin yang hanya bisa memerintah tetapi tidak bisa memimpin karena tidak memiliki keteladanan. Ini menyebabkan terjadinya darurat kepemimpinan mulai tingkat terkecil yang disebut desa sampai tingkat tertinggi pada sebuah negara. Pun antara lembaga satu dengan lainnya.
Salah satu tolak ukur keteladanan pemimpin adalah apabila ia mampu mengimplementasikan Pancasila sebagai falsafah dari kepemimpinannya. Belum banyak pemimpin dari tingkat terendah sampai tertinggi yang mengilhami dan menjalankan esensi ataupun nilai-nilai dari Pancasila.
Sila Ketuhanan yang Maha Esa, dilanjut dengan Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, dan Persatuan Indonesia adalah tataran pemikiran yang harus melekat pada seorang pemimpin. Bagaimana kedekatan ia dengan Tuhannya sebagai cerminan sila pertama. Bagaimana ia bisa memanusiakan manusia yang dipimpinnya atas kesadaran sebagai aplikasi dari sila ke dua. Bagaimana cara bersatu dan mempersatukan semua dalam bingkai persatuan Indonesia sebagai refleksi sila ke tiga. Sepertinya, itu hanya ada pada tataran retorika. Padahal, dengan pemahaman tiga sila itu secara benar, maka pemimpin akan bisa mewujudkan sila keempat dan kelima yakni Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan serta menjadikan Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia sebagai bentuk tata kelola dari kepemimpinannya.
Seorang pemimpin dikata sukses apabila ia memiliki keteladanan dan ada yang meneladani. Kepemimpinan seperti ini bisa terjadi ketika ia memiliki trust (bisa dipercaya orang lain). Trust bisa terbentuk ketika ia memiliki integritas, transparan, reliability (selalu ada saat kapan saja diperlukan), support and development dalam mencapai tujuan dan meningkatkan kinerja, serta empowerment (proses pemberdayaan kesadaran guna meningkatkan kemampuan mengontrol diri dan kemandirian dalam mengambil keputusan)
Mengapa semua diperlukan? Karena kepemimpinan itu ruhnya manajemen, dan pisaunya adalah keputusan.
Seorang pemimpin yang tidak bisa menciptakan manajemen yang baik tentu tidak akan menghasilkan keputusan yang bijak. Hasilnya, adanya mereka seperti tidak adanya. Mosi tidak percaya akan muncul dikarenakan pemimpin telah kehilangan jati diri dalam kepemimpinannya. Dicela dan dicaci maki bisa saja terjadi. Meski tidak baik, tetapi dengan cara itu lah masyarakat atau warga yang dipimpin melampiaskan ekspresi kekesalan dan kekecewaan.
Padahal, pemimpin yang baik adalah yang dicintai rakyat/warganya dan mencintai rakyat/warganya.
Pemimpin yang dicintai rakyat/warganya terjadi karena kualitas memimpinnya bisa menjadikan orang lain respek dan percaya atas dirinya sekaligus kepemimpinannya. Oleh karenanya, tidak hanya Intelligence Quotient (IQ) yang baik yang diperlukan pemimpin, namun Emotional Spiritual Quotient (ESQ) juga diperlukan.
Pemimpin yang memiliki kesadaran fungsi otak yang baik akan menjadikan kepemimpinannya optimal. Tetapi, kalau sekadar IQ-nya yang berjalan maka bisa saja menjadikan si pemimpn itu memiliki sifat transaksional.
Memahami perilaku bisa dengan pemahaman Brain-Strengths/Brain Dominance Preferences yang dikembangkan Ned Herrman. Menurut pengukuran HBDI (Herrmann Brain Dominance Instrument), otak terbagi menjadi empat kuadran; dan bukan hanya dua yakni otak kiri dan kanan. Empat kuadran itu meliputi Kanan Atas, Kanan Bawah, Kiri Atas dan Kiri Bawah. Tiap kuadran berperan atas sekitar 32 pusat perilaku. Perilaku kita ‘diwarnai’ oleh mana yang paling dominan dalam kombinasi dari empat kuadran tersebut. Dominasi kuadran Kanan Atas adalah berpikir strategis, dominasi Kiri Atas berkenaan logika, Kanan Bawah lebih ke Interpersonal, dan Kiri Bawah lebih teknis/how to. Kekuatan kuadran otak ini beda-beda pada tiap orang. Termasuk ‘isi’ dari tiap kuadran.
Idealnya, pemimpin adalah orang dengan kuadran otak Kanan Atas yang dominan dan biasanya kombinasi dengan kuadran Kiri Atas dan/atau kuadran Kanan Bawah.
Sementara itu, sebagai penguat trust, diperlukan Emotional Spiritual Quotient (ESQ). Hal ini dikarenakan trust adalah faktor produksi yang hasilnya adalah diri kita sendiri. Maksudnya, orang yang memiliki ESQ yang baik akan bisa memberikan kemanfaatan bagi orang lain dan kemanfaatan itu akan kembali kepada dirinya dalam bentuk kebaikan berupa kepercayaan.
Hari-hari belakangan ini, sangatlah sulit mencari pemimpin dengan teladan yang paripurna. Satu-satunya pemimpin teladan yang paripurna hanyalah Rosulullah SAW. Dan itu diakui orang yang beragama Islam atau Non-Islam. Salah satunya, Michael H. Hart menempatkan Muhammad SAW di urutan pertama dalam bukunya yang berjudul ‘100 Tokoh Paling Berpengaruh di Dunia’.
Lalu bagaiamana cara mengukurnya?
Bunyi dari sila pertama Pancasila yakni Ketuhanan yang Maha Esa; di situlah ruh dari kelima sila. Maka, refleksi keteladanan dari seorang pemimpin bisa dilihat dari bagaimana ia bisa menjalankan sila pertama. Bagi pemimpin yang beragama Islam, itu bisa dilihat terutama dari sholatnya. Seorang pemimpin yang bisa melaksanakan kewajiban sholat dengan sebenar-benarnya sholat, maka dalam dirinya sesungguhnya telah memancarkan keteladanan berupa Siddiq (jujur), Amanah (dipercaya), Tabligh (Menyampaikan) yang dalam hal ini memiliki komunikasi yang baik, dan Fathonah (cerdas, pandai dan bijaksana).
Dari ke empat sifat buah dari menjalankan sholat itu, si pemimpin akan bisa menterjemahkan sila kedua sampai kelima dari Pancasila dengan keteladanannya.
Wallahu a’lam bishawabi.
- Penulis kelahiran Malang yang tinggal di Mojokerto