Oleh: Esti D. Puritasari
mepnews.id – Awal tahun 2025, di sebuah kafe, saya bertemu Dina untuk sekadar menikmati kopi.
“Kak, nggak tahu harus gimana. Kemarin saya bahagia banget dapat tawaran pekerjaan pertama. Eh, sekarang, tiba-tiba ada tiga tawaran lagi. Satu lagi, lamaranku bea siswa ke Korea juga diterima.”
Saya membelalakkan mata, “Wah, selamat ya Din. Kabar baik, kan? Banyak orang susah dapat kesempatan seperti ini. Kau langsung dapat banyak.”
“Iya. Tapi justru itu masalahnya. Saya jadi bingung. Tawaran-tawaran ini bagus semua. Saya takut salah pilih. Bagaimana kalau saya melewatkan yang terbaik?
“Hmm…, klasik. Kamu mengalami ‘paradox of choices.’ Karena terlalu banyak pilihan, akhirnya kau merasakan ‘decision paralysis‘.”
“Apa itu?”
“Paradox itu kondisi yang bertentangan atau terasa tidak masuk akal. Choices itu pilihan-pilihan. Kalau hanya ada pilihan, mau tak mau kita lakukan itu. Kalau ada dua pilihan, kita jadi senang karena bisa menentukan mana yang paling pas. Paradox muncul saat pilihannya terlalu banyak.”
“Oh, begitu. Lalu, terjadi decision paralysis?”
“Ya. Itu kondisi saat kau kesulitan atau tidak mampu membuat keputusan karena terlalu banyak pilihan yang bagus.”
“Mengapa begitu?”
“Otak kita memang hebat, tapi tetap saja memiliki keterbatasan dalam memproses informasi dan mengevaluasi opsi. Terlalu banyak pilihan justru menghambat kemampuan otak kita untuk membuat keputusan.”
“Terus, apa yang saya mesti lakukan agar tidak FOMO?”
“Fokus pada opsi yang paling relevan dan singkirkan sisanya. Tetapkan batas waktu tertentu untuk membuat keputusan agar kau tak terlalu lama mikir. Jangan lupa, prioritaskan mana pilihan yang paling utama. Yang paling penting, sholat istikharah memohon petunjuk Allah untuk menentukan pilihan.”
“Iya, iya… Tapi, dari mana saya harus mulai?”
“Mari kita coba urai pelan-pelan, ya. Apa sih yang kamu tahu tentang setiap tawaran itu?
“Pertama, perusahaan startup teknologi yang kelihatannya seru. Kedua, perusahaan mapan dengan gaji tinggi. Ketiga, organisasi nirlaba yang misinya sangat pas dengan minat saya. Yang beasiswa itu juga bisa meningkatkan wawasan saya.”
“Bagus. Pertanyaan berikutnya: Apa sih yang paling penting buat kamu saat ini?”
“Saya bingung. Saya pengen mengembangkan diri. Tapi saya juga pengen stabil secara finansial. Saya pengen kerja yang ada maknanya, sih.”
“Deadline waktunya?”
“Ketiganya akhir bulan ini. Yang beasiswa masih agak panjang.”
“Berarti, relevansi dan waktunya boleh dikata sama, ya? Kalau begitu, kau harus tentukan prioritas. Dari sisi perkembangan diri, stabilitas finansial, atau kebermaknaan, mana yang paling kau prioritaskan?”
“Startup mungkin menantang, tapi kurang stabil. Perusahaan besar memberi gaji besar, tapi saya nggak yakin bisa menikmati kerjanya. Organisasi nirlaba kayaknya bermakna, tapi gajinya kecil. Beasiswa belajar juga bermakna bagi diri sendiri tapi waktunya lama.”
“Nah, kau sudah membuat analisis bagus soal relevansi dan prioritas. Sekarang coba tanyakan pada dirimu di posisi apa kau dalam lima tahun mendatang? Pilihan ini mungkin bisa mendukung tujuan jangka panjangmu?
“Emmm, mungkin organisasi nirlaba atau kuliah lagi di Korea. Aku ingin kerja di bidang yang sesuai passion walaupun risikonya besar.”
“Nah, kau sudah tahu jawabannya dan bisa membuat keputusan. Sepertinya, tidak ada lagi decision paralysis. Keputusan akhir, nanti malam sholat istikharah.”
“Makasih, Kak. Saya merasa lebih lega sekarang.”