mepnews.id – Kemarau panjang merupakan waktu yang tepat untuk memulai produksi krupuk pambak. Panas teriknya matahari pasti mempercepat proses pengeringan rambak mentah yang sudah diolah. Tak pelak, banyak lembaran terpal atau anyaman bambu berisikan kepingan rambak mentah di Jatirejo Rt.02 Rw.12, Wonoboyo, Wonogiri.
Di desa yang tak jauh dari Bengawan Solo ini, ada pengrajin krupuk rambak bernama Suparningsih. Orang-orang biasa memanggilnya Mbak Ning. Lewat panasnya terik matahari dan rambak, ia berusaha mengubah nasib.
Awalnya, ia bersama suami memproduksi karak puli. Namun, sejak tahun 1999, Mbak Ning banting setir jadi memproduksi krupuk rambak. Alasannya, memproduksi karak puli tidak bakal bisa memenuhi kebutuhan dan menyekolahkan anak.
“Pak, awak-e dewe ora iso maju yen ngene terus. Sebab, produksi karak ora iso berkembang,” tutur Mbak Ning saat itu pada Windradi Winarno suaminya.
Kemudian, muncul ide membuat krupuk rambak dengan cap dagang Mbak Ning. Produk krupuk rambak Mbak Ning ini sudah beredar ke pasar-pasar di Wonogiri. Dengan ciri khas rasa yang gurih, rambak ini diminati para pencita krupuk. Bukan hanya menjual di pasar, Mbak Ning juga sering membagi-bagikan krupuk rambaknya pada orang-orang terdekat.
Kemarau panjang merupakan berkah bagi pengrajin krupuk. Hanya butuh 2-3 hari, adonan krupuk yang dijemur bisa kering. Bila hujan, tentu proses produksi agak terhambat karena belum ada mesin pengering rambak.
Setiap hari Mbak Ning bisa memproduksi hingga 175 kilogram krupuk rambak kering. Ia menjualnya Rp 25 ribu perkilo krupuk rambak siap makan. “Omsetnya mencapai Rp 17 juta per bulan,” ujar Mbak Sri. Lumayan untuk bayar sekolah anak.
Saat ini, ada delapan karyawan yang masing-masing punya tugas berbeda untuk membantu Mbak Ning. Ada yang membuat adonan, mengkukus adonan, merajang adonan, sampai menjemur krupuk mentah. UKM membawa berkah.
POST A COMMENT.