Mengapa Orang Suka Film Horor?

mepnews.id – ‘Vina: Sebelum 7 Hari’, ‘Sinden Gaib’, ‘Pemukiman Setan’, ‘Janji Darah’, ‘KKN di Desa Penari’, adalah sejumlah judul film horor yang diproduksi di Indonesia. Bahkan, film ‘Vina: Sebelum 7 Hari’ bergenre horor-kriminal dikaitkan dengan kisah kasus nyata yang terjadi di Cirebon.

Film-film bergenre horor dan kriminal sering mendapat tempat di kalangan masyarakat. Bahkan, antusiasme masyarakat lumayan tinggi. Mengapa bisa begitu?

Selain faktor psikologis, antara lain karena menikmati sensasi yang ditawarkan film horor, tingginya antusiasme masyarakat terhadap film semacam itu juga dipengaruhi oleh masifnya promosi lewat media sosial.

Igak Satrya Wibawa, dosen Ilmu Komunikasi Unair.

Igak Satrya Wibawa Ssos MCA PhD, dosen Ilmu Komunikasi FISIP, Universitas Airlangga, mengatakan, “Film-film bergenre horor maupun kriminal terbantu oleh aspek lain di luar narasi. Misalnya, pemasaran. Sebagai contoh, ‘KKN Desa Penari’ itu ceritanya sudah viral lebih dulu di media sosial. Bisa dibilang promosi masif juga memberikan efek positif, bahkan sebelum film itu dirilis.”

Igak menekankan, film horor memiliki potensi lebih tinggi untuk diterima masyarakat karena jalan cerita yang relatif sederhana dan adanya dorongan adrenalin. Menurutnya, masyarakat cenderung ingin mencari sensasi ‘kaget’ atau ‘takut’ yang dialami saat menonton film horor.

“Saya pribadi kurang setuju kalau disebut film ‘Vina’ bisa membantu mengusut kasus kriminal seperti yang dihebohkan di berita-berita. Selesai atau tidaknya sebuah kasus itu bukan peran film, tetapi peran kerja kepolisian. Walaupun demikian, film ‘Vina’ bisa membantu mengangkat kembali isu kriminal yang belum terselesaikan. Itu erat kaitannya sama viral culture di Indonesia ketika pemerintah cenderung baru bertindak kalau kasusnya viral lebih dulu,” ungkapnya.

Di luar itu, film ‘Vina’ juga menjadi pembicaraan terkait kasus kriminal yang diangkat. Sejauh ini, ada dua pendapat mengenai isu tersebut. Pendapat pertama menganggap film ‘Vina’ sudah menerobos batas moralitas karena produsen film menjadikan kasus pemerkosaan sebagai ladang meraup keuntungan. Pendapat kedua justru menganggap film ‘Vina’ sebagai genre kriminal biasa yang tidak perlu dipermasalahkan.

“Sebenarnya ada banyak film yang mengangkat kasus kejahatan yang sudah rilis. Namun, problem dari film ‘Vina’ adalah adanya unsur eksploitasi di dalamnya. Batas-batas semacam itu yang kemudian menjadi kontroversi di masyarakat,” lanjutnya.

Banyak film bertopik kisah nyata yang rilis di Indonesia. Misalnya; ‘Sum Kuning’, ‘Arie Hanggara’, dan ‘Marsinah’. Namun, ketiganya dirilis zaman dulu saat penggunaan media sosial tidak semasif sekarang. Kondisi semacam itu tentu berbeda dengan ‘Vina’ maupun ‘KKN’ yang dirilis saat penggunaan media sosial sudah masif.

“Jelas media sosial memiliki peran besar dalam mengubah perilaku masyarakat. Misalnya, antusiasme masyarakat yang tinggi terhadap cerita horor di media sosial mendorong rumah produksi untuk menjadikannya film. Ke depan, viral culture akan menjadi kontributor signifikan untuk memproduksi film di Indonesia,” kata ia.

Facebook Comments

Comments are closed.