Oleh: Budi Winarto
mepnews.id – Pada dasarnya, setiap rutinitas pekerjaan yang kita lakukan perlu jeda agar fisik dan mental kita bisa terpenuhi haknya. Jeda itu diperlukan agar tubuh mendapatkan porsi istirahat untuk mendapatkan ketenangan. Jadi, betapa pentingnya jeda di antara tumpukan rutinitas. Jeda bisa menciptakan ketenangan dhahir maupun bathin.
Hampir semua orang berharap memiliki ketenangan, dan itu manusiawi. Hampir semua orang yang memiliki akal sehat pasti menginginkan ketenangan. Dengan pekerjaan dan rutinitas yang begitu padat setiap hari, dibutuhkan alternatif untuk mengistirahatkan jiwa dan raga.
Begitu juga saya dan keluarga. Kejenuhan tentu sering hinggap di fikiran dan raga kami. Kebetulan, kami adalah keluarga dengan aktifitas padat. Istri saya penyuluh Keluarga Berencana dan saya guru yang di sela-sela waktu menyalurkan hobi menulis.
Menulis itu aktifitas menyenangkan, tetapi perlu fokus, konsentrasi dan suasana yang mendukung. Pekerjaan menulis itu bisa dilakukan semua orang. Tapi, bisa menjaga keistiqomahannya, itu yang sulit.
Salah satu cara agar bisa istiqomah, ia harus memiliki bacaan dengan cara membaca buku, atau melingkar bersama orang-orang yang memiliki pengalaman dan ilmu. Selain itu, ia harus bisa mengerahkan panca indra agar realitas sosial bisa terbaca. Untuk bisa melakukan semua itu, ia butuh ketenangan yang cukup.
Untuk menciptakan ketenangan, caranya bermacam-macam. Bagi saya pribadi, alam mengajarkan bagaimana semua unsurnya bisa menciptakan ketenangan dan kedamaian. Alam dengan berbagai macam pepohonan, gunung, hewan, air dan unsur lain di dalamnya, mampu menciptakan ketenangan bagi orang yang bisa menikmatinya. Pohon menyediakan oksigen bagi kesehatan jasmani. Hewan dan gemercik air serta unsur lain bisa menenangkan bathin.
Lama kami berpikir bagaimana agar rumah kami mampu menyuguhkan ketenangan di atas semua keterbatasannya. Dengan niat kuat, perlahan kami mencoba memenuhi unsur-unsur alam di dalam rumah. Meski jauh dari kata mewah, subtansi dari ketenangan itu tentu hanya kami yang bisa merasakan.
Kami pun memulai dengan mengkondisikan rumah sedemikian rupa. Beberapa bunga ditanam di halaman. Nuansa gemercik air dibuat dari kolam ikan koi di dalam rumah. Ikan koi bisa kita nikmati keindahan warnanya. Oksigen yang ikan koi butuhkan bisa menimbulkan gemercik air yang suaranya bisa kita dengar. Kondisi itu membawa keteduhan. Meski ukurannya tidak seberapa, namun cukuplah mewakili apa yang alam suguhkan.
Agar lebih sempurna, kami tambahkan rak buku berukuran agak besar untuk menampung buku bacaan. Saya berusaha setiap bulan kalau bisa beli buku. Entah nantinya terbaca atau tidak, tapi buku-buku yang kami koleksi itu fungsinya bisa sebagai obat bagi pengetahuan kami yang sangat terbatas. Mungkin saat ini kami belum bisa membaca semua. Tapi, di saat tertentu ketika butuh, bacaan-bacaan itu bisa memberikan referensi. Stok dan persediaan buku itu akan selalu siap kami manfaatkan. Jadi, jangan salah paham ya. Apalagi beranggapan buku di rak itu hanya pajangan, apalagi untuk sekadar dipamerkan.
Untuk menguatkan pendapat, saya sempat membaca postingan dari Umberto Eco. Dia novelis Italia yang memiliki sedikitnya 50.000 buku bacaan. Tentang perpustakaan pribadinya, Eco mengatakan, “Adalah bodoh jika Anda berpikir harus membaca semua buku yang Anda beli. Sama bodohnya dengan mengkritik orang yang beli lebih banyak buku daripada yang pernah baca. Itu seperti mengatakan bahwa Anda harus menggunakan semua peralatan makan, gelas, obeng, atau mata bor yang Anda beli sebelum membeli yang baru. Ada hal dalam hidup yang perlu selalu memiliki banyak persediaan, meskipun kita hanya akan menggunakan sebagian kecil.”
Ia melanjutkan, “Jika, sebagai contoh, kita anggap buku sebagai obat, mak kita akan mengerti bahwa lebih baik memiliki banyak buku di rumah daripada sedikit: ketika Anda ingin merasa lebih baik, Anda bisa pergi ke ‘lemari obat’ dan memilih buku. Bukan sembarang buku, tetapi buku yang tepat untuk Anda saat itu. Itulah mengapa Anda selalu harus memilki pilihan gizi!”
Ia menegaskan, “Mereka yang hanya membeli satu buku, hanya membaca itu dan kemudian membuangnya, maka mereka hanya menerapkan mentalitas konsumen pada buku, yaitu, mereka mengangap buku hanya sebagai produk konsumsi, hanya sebagai barang. Padahal, mereka yang mencintai buku tahu betul bahwa buku itu sama sekali bukanlah komoditas.”
Dari ungkapan Eco ini, jelaslah bahwa buku itu betul-betul jendela dunia. Dengan banyaknya buku yang kita miliki, bukan berarti semua bisa kita baca sampai hatam. Melainkan, dengan banyaknya persedian buku, kita akan mendapatkan yang tepat sesuai dengan apa yang kita ingin kembangkan.
Di sudut lain, di sebelah barat rumah kami, alhamdulillah ada sebidang tanah dan rumah hampir roboh yang bisa kami beli. Karena bangunannya sudah tidak layak, kami robohkan sekalian. Setelah itu kami bersihkan. Dengan menggunakan arco berbahan bakar keringat, kami buang sampah dan kotoran serta reruntuhan bangunan. Setelah itu kami membuat diameter di atas keramik yang masih terpasang. Sesuai ukuran diameter itu, keramik yang masih terpasang kami bongkar sampai terlihat tanahnya. Dari ukuran dimeter lingkar yang sudah kelihatan tanahnya, kami tambahkan pupuk lalu kami tanami tanaman dan buah-buahan. Dari titik-titik itu kemudian tumbuh black sapote, mamey sapote, jaboticaba, red pamelo, madu deli hijau, red longan, jambu kristal dan tanaman lainnya.
Unsur-unsur alam yang ada di sekitar rumah itu lah yang menjadikan suasana rumah bukan hanya sebagai tempat me-refresh raga namun juga bisa menjadi healing-nya jiwa untuk menciptakan ketenangan. Dengan ketenangan yang dimiliki, kami merasa bahagia.
Refreshing adalah proses penyegaran yang berfokus untuk memberikan energi positif, kebahagiaan, dan keseimbangan. Healing adalah untuk memperbaiki luka fisik maupun mental. Dengan beragamnya aktifitas yang kami kerjakan, tentu kami butuh tempat yang bisa kami gunakan refreshing sekaligus healing. Alhamdulillah, rumah kami meskipun sederhana tetapi cukup untuk menyediakan ketenangan yang kami butuhkan.