Mengukir Pribadi dengan Mandiri

Oleh Budi Winarto

mepnews.id – Pada 18 Pebruari 2024, anak kedua kami mengikuti lomba Olimpiade Mewarnai, Matematika dan Sains (OMMSY) di Mojokerto. Nayif nama panggilannya, Sekarang ia duduk di  kelas 4 Madrasah Ibtidaiyah.

Senang rasanya saya melihat semangat Nayif mengikuti lomba. Tanpa beban, tanpa paksaan dari saya maupun dari mamanya. Bahkan, ia mendaftar mandiri. Yang tak kalah istimewa, biaya pendaftaran pun dari tabungannya sendiri.

Kebetulan lomba yang diikuti adalah olimpiade matematika. Saya, kalau berkaitan dengan mata pelajaran itu, minta ampun-ampun deh karena tidak ada basis kemampuan. Tetapi, tidak begitu dengan Nayif. Baginya, menang menjadi tujuan, tapi kalah pun ia tidak merasa menyesal.

Pernah saya dalami idenya lewat ngobrol-ngobrol santai. Dari komentarnya, Nayif memandang sesuatu yang harus dihadapi atau dikerjakan ya harus dihadapi dan diselesaikan semampu dan sebisa yang ia dapat kerjakan.

Bagi orang kebanyakan, perkataan ini mungkin sederhana. Tapi, bila yang mengucapkan seusia anak kelas 4 MI, tentu ini luar biasa. Setidaknya, begitu penilaian kami selaku orang tua. Karena, hasil pemikiran anak kami tentu awalnya melalui proses.

Jauh dari apa yang dia fikirkan, ada sesuatu hal kami harus waspadai. Pemikiran seperti ini sepintas terlihat wajar, namun kalau dibiarkan akan membawa dampak negatif. Oleh karenanya kami perlu memberikan pendampingan agar pemikirannya bisa terarah dan menjadi growth mindset.

Dari pemikiran yang terbangun, memang Nayif secara mental tidak merasa ada beban. Tetapi, di sisi lain, yang kami harus waspadai adalah jangan sampai setiap pekerjaan dia lakukan sekenanya atau sembarangan. Jangan sekadar yang penting dikerjakan tanpa ada niatan kuat bagaimana mengerjakannya secara maksimal dan menghasilkan sesuatu yang menjadi ending dari tujuannya yakni menjadi pemenang. Jika sekadar mengerjakan, itu bisa melunturkan niatan semangat belajar. Pada akhirnya itu akan merusak mental yang sudah terbangun dengan baik di awal.

Sesaat menjelang ikut lomba, Nayif di-train mamanya. Alhamdulillah. Karena atas inisiatif sendiri, ia tampak tidak ada beban saat dilatih mamanya. Ia sangat asyik belajar. Beberapa kali salah, itu mah wajar. Beberapa kali mendapat tekanan ucapan karena kesalahannya, itu juga bagian dari latihan mental.

Saya menuliskan ini di sini bukanlah ingin menggurui. Saya yakin Bapak-Ibu sekalian tentu memiliki pengalaman parenting yang lebih dari apa yang saya ceritakan. Namun, ijinkan saya untuk sekadar berbagi. Barangkali ini bisa menjadi tip kebaikan untuk buah hati yang kita cintai dari proses kami mendidik anak.

Mencintai anak bukan berarti harus menuruti segala apa yang anak mau. Orang tua sesekali harus tegas dan bisa mengatakan bahwa yang baik itu baik dan yang salah itu salah. Yang baik boleh dikerjakan dan akan dituruti. Yang tidak baik, tidak boleh dilakukan.

Tentunya, dalam menyetujui atau melarang keingingan anak, kita jangalah sekedarnya. Setiap ucapan atau keputusan kita harus disertai alasan yang masuk akal dan bisa diterima. Dasarnya bisa mengacu pada ajaran agama sebagai tuntunannya.

Dengan begitu, dalam mencitai buah hati, tidaklah akan membuat mereka terjerumus ke kesengsaraan. Bukan hanya dia, tetapi juga kita selaku orang tua, bisa turut sengsara di masa berikutnya, dikarenakan saat mendidik kita terlalu takut melukai hatinya.

Ada beberapa hal yang mungkin bisa dipetik dari cerita ini. Pertama, betapa penting komunikasi antara orang tua dan anak. Era sekarang, pemikiran anak-anak tidaklah seperti saat kita dilahirkan. Kita boleh bercerita pada anak tentang pengalaman kita saat kecil. Tapi itu sekadar ilustrasi, dan bukan lantas harus dipaksakan pada anak untuk mengikuti. Kita harus paham, jaman kita bukan jamannya anak-anak kita.

Generasi Z saat ini susah diatur, ingin bertindak dengan pemikiran dan gayanya sendiri. Boleh juga disebut ini generasi random karena terjadi ketidakteraturan pola dan gaya hidup. Suka mencoba dan meniru, keinginan tahunya sangat tinggi. Meski demikian, dengan zaman demikian, jangan sampai buah hati kita memiliki sikap hedonis dan egois berlebih sehingga mereka menjadi paria.

Anak-anak sekarang, dengan pemikiran melesat, lebih mampu menyelesaikan permasalahannya sendiri. Tidak seperti kita dulu. Meski demikian, dengan kemampuan yang anak-anak  jaman now miliki, kita jangan lantas membiarkan saja. Anak-anak tetap perlu pengawasan dan pendampingan.

Pendampingan paling efektif didalam membersamai buah hati adalah dengan bagaimana kita bisa menciptakan komunikasi yang baik dengan mereka. Hanya komunikasi yang baik yang bisa menjadi sarana orang tua untuk masuk ke dalam dunia anak-anak.

Dengan kualitas komunikasi yang kita ciptakan, sejatinya orang tua bisa menempatkan anak-anak pada posisi tertinggi dengan cara menjaga privasi mereka tanpa harus ketinggalan untuk mengendalikan mereka tanpa merendahkan mereka.

Wallahu a’lam bishawab.

Facebook Comments

Comments are closed.