Oleh: Esti D. Purwitasari
mepnews.id – “Dek, jangan lari-larian terus dong. Nanti jatuh, lho.”
Eh, si Adek bukannya menurut, malah larinya tambah kencang.
“Ingat ya, Lin, jangan cari jodoh lelaki dari suku A. Orang suku A itu sukanya begini, begitu, beginu, begiti…”
Eh, Si Alin malah gebetannya dari kota X yang populasi terbesarnya suku A.
………..
Pembaca yang budiman, pernahkan Anda mengalami hal-hal semacam di atas? Atau, bahkan Anda pernah menjadi pelaku aksi-aksi perlawanan itu?
Dalam psikologi, itu biasa disebut dengan reactance. Istilah ini menggambarkan kecenderungan seseorang untuk menolak atau memberontak terhadap perasaan terbatasnya kebebasan. Ketika seseorang merasa bahwa kebebasannya terancam atau dibatasi, ia cenderung bereaksi dengan menunjukkan sikap atau perilaku yang bertentangan dengan yang diinginkan oleh pihak yang mencoba mengontrol.
Perilaku reactance ini bisa muncul dalam berbagai konteks. Bisa dalam hubungan interpersonal, dalam lingkungan kerja, atau bahkan dalam interaksi dengan otoritas atau aturan lebih besar.
Misalnya, ketika seseorang merasa diperintah atau dipaksa melakukan sesuatu tanpa memiliki alternatif lain yang jelas, ketika ada peraturan yang dianggap menghambat kebebasan individu tanpa alasan jelas atau memadai, ketika seseorang merasa pilihan atau preferensinya diabaikan atau tidak dihargai, ketika ada tekanan sosial untuk berperilaku atau berpikir tertentu namun membuat seseorang merasa terkekang, ketika seseorang merasa ada ancaman terhadap identitas atau harga diri akibat pembatasan yang diberlakukan orang lain, dan lain-lain. Bahkan, perilaku reactance dapat muncul dalam konteks perubahan politik, sosial, atau budaya. Intinya, saat merasa kebebasannya dihambat, seseorang melakukan reaksi melawan.
Apa dampaknya? Tentu, dampak perilaku ini bisa dilihat dari berbagai sudut pandang dan kepentingan. Kita tidak bisa menghakimi perilaku ini lewat satu sisi. Perlu kebijaksanaan tinggi untuk menilai.
Beberapa dampak positifnya antara lain tentang pembelaan diri. Reactance dapat memicu individu atau kelompok untuk memperjuangkan hak-hak dasar dan kebebasan individual. Dalam skala lebih besar, ini dapat mengarah pada perubahan kebijakan atau praktik yang merugikan kebebasan.
Secara pribadi, reactance dapat memicu proses kreatif ketika seseorang merasa dibatasi atau terkekang. Ia akan mencari solusi alternatif untuk mengatasi hambatan sehingga memunculkan inovasi dan ide-ide baru.
Reactance juga dapat membantu memperkuat identitas individu dengan mengingatkan mereka pada nilai-nilai, kepercayaan, dan preferensi pribadi yang mendasar. Ini dapat memperkuat rasa harga diri dan kepercayaan diri.
Meski demikian, reactance juga sering dikaitkan dengan respons negatif. Antara lain, reactance dapat memicu konflik antara individu atau kelompok dengan pihak atau otoritas yang membatasi kebebasan. Ini dapat menghasilkan ketegangan sosial yang merugikan.
Ketika reactance mendorong individu untuk menolak atau memberontak terhadap pembatasan, hal ini dapat menghambat kemajuan dan perubahan yang mungkin diperlukan untuk perkembangan lebih baik.
Reactance juga dapat menyebabkan penurunan kepatuhan terhadap aturan atau otoritas yang sah. Ini dapat mengganggu fungsi sosial dan keamanan masyarakat jika orang-orang mulai mengabaikan atau menolak aturan yang ada.
Jika reactance diekspresikan secara agresif atau tanpa memperhitungkan perasaan orang lain, ini dapat merusak hubungan interpersonal dan memicu konflik antara individu atau kelompok.
Secara pribadi, reactance dapat menghalangi individu dari mengambil manfaat atas kesempatan atau situasi yang mungkin bermanfaat. Itu karena ia lebih fokus pada menentang atau melawan pembatasan daripada menggali peluang kebermanfaatan.
Fenomena reactance memang dapat memiliki fungsi penting dalam mempertahankan kebebasan individu dan mendorong perubahan sosial, tapi penting juga untuk memperhatikan konsekuensi yang mungkin timbul dari respons tersebut.