Oleh: Moh. Husen
mepnews.id--Dalam sebuah pengajian bertajuk Sinau Bareng di lapangan dengan massa ribuan, tampak terpampang banner besar dan memanjang di panggung bertuliskan angka usia desa yang sudah tua melebihi usia Indonesia yang ‘baru saja’ lahir tahun 1945.
Desa yang terletak di kawasan Jawa Timur itu sedang menggelar milad dan tasyakuran dengan mengundang hadirkan pembicara dari Yogyakarta beserta kru gamelannya untuk memberi pencerahan atau apa saja kepada warganya demi ke depan agar desa semakin baik.
Mulanya, Si Pembicara memastikan terlebih dahulu posisinya di hadapan khalayak yang hadir malam itu. Bahwa dia bukan siapa-siapa. Dia bukan tokoh, bukan kiai, bukan profesor. Juga bukan seniman atau budayawan.
“Saya ini cuma Mbah yang malam hari ini sedang bercengkrama dengan anak cucunya. Jelas ya? Kalau masih ada yang menokoh-nokohkan, apalagi mengkultuskan, tak tonyo rai-mu…” seloroh Simbah yang disambut derai tawa dan tepuk tangan anak cucunya.
“Acara kita malam ini adalah sinau bareng. Bukan sinau dengan Simbah. Melainkan kita semua yang hadir di sini, termasuk Simbah, bareng-bareng sinau. Kita coba melihat bersama mengenai positioning desa yang terkadang diremehkan,” ujar Simbah.
Kemudian, secara santai dan mengalir, Simbah menyampaikan kepada seluruh yang hadir, bahwa Indonesia yang diibaratkan oleh beliau sebagai makanan gado-gado ini hendaknya menghormati seluruh desa-desa yang ada.
“Tua mana Indonesia dengan desa Anda? Harusnya desa Anda itu nyusu ke Indonesia atau nyusoni Indonesia? Indonesia harus belajar kepada desa. Karena Indonesia itu ibarat gado-gado. Tidak akan menjadi gado-gado yang enak kalau gak ada kacangnya, lomboknya, kubisnya, lontongnya dan seterusnya,” tutur Simbah malam itu.
“Kemudian, jangan lupa, kacang tetap kacang meskipun nggak ada gado-gado. Desa bisa berdiri sendiri, sementara Indonesia harus ada ribuan desa yang lain untuk menjadi Indonesia. Jadi, kita harus banyak belajar kepada desa. Harus ta’dhim dan rendah hati kepada desa.”
Banyak hal yang disampaikan Simbah pada malam itu. Terutama masyarakat desa hendaknya menjaga kultur tradisi di desanya agar jangan sampai hilang serta jangan mau disuruh percaya bahwa yang hebat selalu dunia Barat atau luar negeri.
“Kalau lombok tidak pedas, gado-gado tidak enak. Lombok jangan sampai tidak menjadi lombok, kacang harus menjadi kacang, lontong dan kubisnya jangan sampai berubah, demi gado-gado Indonesia yang kita cintai bersama ini,” pesan Simbah.
Saya menyaksikannya via YouTube sembari begadang menunggu tiba waktu sahur. Mungkin Anda bertanya atau sudah bisa menduga, siapakah Simbah dan Kru Gamelan dalam tulisan ini? Ya, beliau adalah Emha Ainun Nadjib dan Gamelan Kiai Kanjeng.
Banyuwangi, 5 April 2022
Dengar gamelan aja sudah tahu, ini dia tandanya. Baru nyadar sekarang sudah jadi simbah., penulisnya hapal bener setiap kata yg dirangkai jadi kalimat, sangat medhok khas beliau. Rasanya kudengar langsung, suaranya, kebayang kumis dan rambutnya telah memutih. Terimakasih, serasa mudah menuliskan sesuatu.