Petilasan Mbah Kopek di Muncar Banyuwangi

Oleh: Dheny Dwi Kusuma Hawindaryanti

mepnews.id – Warna keperakan menyibak cakrawala di ufuk timur, pertanda aku harus bergegas pergi ke air sumber Mbah Kopek. Kukemasi baju kotor yang akan dicuci. Sepupuku datang mengajakku berangkat bersama. Pagi sekali kami berangkat agar bisa leluasa mandi dan mencuci di air sumber. Kami menyusuri jalanan melewati pematang sawah untuk sampai ke lokasi pemakaman tempat petilasan Mbah Kopek.

Lokasinya tidak jauh dari rumahku. Meski jalan kaki, tak memakan waktu lama bagi kami untuk sampai ke tempat itu. Di situ, banyak pepohonan rindang menaungi  sumber air jernih. Gemericik air mengalir di antara bebatuan menambah indahnya tempat itu. Bayang pepohonan yang menari-nari di antara gerakan air mengalir menggodaku segera turun dan menghambur ke dalam air.  Tak sabar melihat mata air sangat jernih, aku segera berlari dan terjun ke dalam air. Sangat segar.

Sesaat aku asyik mandi dan gogo (mencari uang receh di dasar air) bersama teman-temanku. Sorak kecil terlepas saat di antara kami ada yang menemukan koin. Dengan uang itu, kami nanti bisa beli jajanan yang kami inginkan. Karena asyiknya gogo, sampai-sampai aku sejenak lupa mencuci baju. Begitu tersadar, kami segera mencuci baju dengan cepat. “Tidak harus bersih, yang penting wangi,” begitu candaan kami.

Krincing krincing… suara lemparan recehan koin di petilasan Mbah Kopek membubarkan lamunan masa kecilku. Kulihat seseorang melempar koin sebagai bagian dari ritual hajatan agar terkabul yang diinginkan. Kali ini, tentu aku tidak akan gogo mengejar koin itu untuk beli jajan. Aku hanya mengamati untuk menuliskan cerita.

Petilasan Mbah Kopek sering didatangi para peziarah dari kampung sekitar hingga dari berbagai wilayah di Indonesia. Antara lain dari Yogyakarta, Kediri, Palembang, hingga Kalimantan. Para peziarah tidak mengalami kesulitan menemukan lokasinya karena sudah cukup terkenal.

Lokasinya di Dusun Sumberjoyo, Desa Kumendung, Kecamatan Muncar, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur. Untuk menuju Desa Kumendung, peziarah bisa lewat perempatan Tembok, pertigaan Blambangan, atau lewat becakan Komis-Wonosobo.

Untuk mencapai petilasan Mbah Kopek di tengah persawahan Dusun Sumberjoyo, pengunjung harus melewati pemakaman umum. Di sekitar petilasan terdapat makam. Di depannya ada pepohonan besar yang menaungi petilasan. Ada satu pohon putat yang sangat tinggi dan dua batang pohon beringin besar. Pas di depan petilasan ada pohon pakis tua.

Pohon besar berdiri dekat rumah petilasan Mbah Kopek.

Pelataran petilasan Mbah Kopek cukup luas untuk parkir motor maupun mobil. Di sebelah timur pintu masuk terdapat gazebo. Air sungai yang jernih mengalir di bawah gazebo. Sungguh ini menambah keindahan panorama di petilasan Mbah Kopek.

Jika pengunjung ingin ke sumber air Mbah Kopek, sudah ada fasilitas tangga setinggi 4 meter. Dari atas, pengunjung dapat melihat penutup yang mirip atap rumah dengan di bawahnya aliran air mengucur deras dari sela-sela bebatuan di sekitar pohon. Pemberian penutup tersebut untuk mencegah pencemaran sehingga sumber air Mbah Kopek akan terjaga kebersihannya.

Sumber air tersebut selalu deras meski kemarau panjang. Tidak heran, jika kemarau panjang, orang-orang dari desa sekitar datang ke sumber air untuk mencuci baju. Ada kalanya mereka langsung meneguk airnya karena sangat jernih dan menyegarkan. Ada pula yang mengambil air, membawa pulang, untuk memasak.

Tapi, siapakah Mbah Kopek itu?

Mukinah, penduduk di sekitar petilasan, menyebut Mbah Kopek itu seekor harimau putih yang menjaga desa. Konon, Mbah Kopek berkeliling menjaga kampung sekitar selepas maghrib. Waktu dia masih kecil, Mukinah sering melihat Mbah Kopek berjalan di depan rumahnya.

Pak Bagong, juru kunci petilasan, juga menyatakan Mbah Kopek berpenampakan sebagai harimau putih. “Harimau putih itu memiliki tetek menggelambir sampai hampir menyentuh tanah. Kalau berjalan, bunyinya sampai glubug-glubug. Oleh masyarakat, harimau tersebut disebut Mbah Kopek.”

Ia juga menjelaskan, harimau itu ghaibnya pertapa dari zaman Kerajaan Mataram bernama Jaya Kusuma.

Masyarakat setempat menganggap Mbah Kopek sebagai danyang yang menunggu dan menjaga perkampungan sekitar. Mereka meyakini danyang itu juga dapat mengabulkan permohonan.

Maka, munculah beberapa ritual yang akhirnya melekat sebagai adat masyarakat desa. Beberapa tradisi yang terdapat di desa sekitar petilasan tersebut antara lain mantu kucing, selamatan Jumat Kliwon, selamatan Jumat Legi, tradisi menyepi untuk para pelaku spiritual, dan ritual pamit leluhur.

Saat kemarau sangat panjang, masyarakat menggelar upacara mantu kucing. Tradisi ini diawali dengan mengarak kucing jantan dan kucing betina keliling kampung. Puncak ritualnya, masyarakat menceburkan kedua pengantin kucing beserta pengiringnya ke dalam sumber air. Hal ini diyakini dapat mendatangkan berkah berupa hujan. Percaya atau tidak, itu tergantung keyakinan masing-masing. Yang pasti, ritual itu salah satu bentuk tradisi yang dilestarikan masyarakat.

Ritual malam Jumat kliwon dan Jumat Legi digelar orang yang punya hajat. Mereka datang bersama beberapa kerabat membawa tumpeng dan melakukan selamatan di pelataran petilasan Mbah Kopek.

Tradisi pamit dan meminta restu leluhur juga menjadi tradisi yang dilestarikan masyarakat di sekitar petilasan Mbah Kopek. Tradisi ini biasa dilakukan orang yang akan mantu, menjadi pengantin, ataupun orang yang akan buka usaha.

Petilasan tersebut juga sering dikunjungi orang yang olah spiritual. Mereka menetap beberapa waktu di situ. “Pada dasarnya, mereka melakukan tirakat sebelum memasuki Alas Purwo untuk bertapa,” ungkap  Suyono salah seorang yang sering berolah batin di petilasan Mbah Kopek.

“Orang yang ingin bertapa di Alas Purwo konon tidak diterima sebelum berkunjung ke petilasan Mbah Kopek. Tak pelak, petilasan ini dulu sering disinggahi orang-orang yang akan berangkat bertapa ke Alas Purwo. Namun, sudah lama tidak ada orang singgah ke petilasan Mbah Kopek sebelum bertapa di Purwo. Yang lebih sering datang hanyalah orang yang ingin menyepi karena punya hajat. Mereka banyak yang kembali setelah hajat mereka terkabul,” tutur Muhammad Arifin ketua adat desa setempat.

 

* Penulis adalah guru SMPN 2 Srono, Banyuwangi

Facebook Comments

Comments are closed.