Oleh: Abu Muslim
mepnews.id – Perubahan tingkah laku sering kali disebabkan hasil pengalaman dari interaksi pada segala macam manusia dengan lingkunganya yang terwujud dalam bentuk pengetahuan, sikap dan tindakan. Perilaku merupakan respon individu terhadap stimulus dari luar maupun dalam dirinya.
Begitu juga radikalisme. Tindakan yang identik dengan kekerasan ini juga hasil dari pengalaman yang didapat melalui faktor internal dan eksternal.
Faktor internal adalah sesuatu yang hadir dari dalam dirinya. Antara lain frustasi, sikap dalam beragama, serta peneguhan identitas dan rasa memiliki.
Radikalisme seringkali dari ekspresi frustrasi akibat ketidakadilan sosial, ekonomi dan politik dalam masyarakat. Kekecewaan terhadap penguasa atau pemerintahan sebagai wujud ketidakpuasan, lalu mereka melakukan tindakan radikal. Radikalisme juga terjadi akibat salah dalam memahami sejarah umat Islam yang dipadukan dengan harapan kondisi Islam pada periodisasi tertentu. Seperti gerakan salafi yang menginginkan adanya pemurnian Islam dengan cara menghilangkan praktik-praktik yang dianggap bid’ah dengan cara kekerasan. Selanjutnya, ada peneguhan identitas akibat keluhan kolektif yang membentuk persepsi bahwa pemerintah tidak legitimate dan sistem pemerintahan harus diubah. Persepsi tersebut menggiring pribadi akan menjadi semakin kuat apabila bergabung dengan kelompok. Dengan perkembangan teknologi dan informasi, proses bergabungnya pribadi dalam kelompok seideologi menjadi mudah. Dengan begitu identitas diri secara personal menjadi hilang dan digantikan dengan identitas kelompok. Setelah tahap peneguhan identitas tercapai, maka masuk dalam tahap rasa memiliki yang sangat kuat terhadap kelompok, atau disebut sikap loyalitas. Hal itu dipicu akibat dirasa bahwa kelompok mampu memberikan perlindungan baginya dari dunia luar yang tidak adil bagi dia. Kelompok dianggap sebagai komunitas seperjuangan, tempat yang memberikan rasa aman dan menyelamatkan dari krisis identitas yang mungkin dialami.
Sedang faktor eksternal ialah faktor yang disebabkan dari luar dirinya. Faktor tersebut antara lain geografis, kondisi ekonomi, sosial politik dan perkembangan teknologi informasi.
Secara konstelasi geografi, Indonesia berada pada posisi silang dua benua dan dua samudera yang memiliki alur laut tersibuk di dunia. Wilayah yang sangat strategis secara geostrategik tersebut rentan terhadap masuknya paham radikalisme. Dengan kondisi wilayah yang terbuka dan kepulauan terbesar, Indonesia rawan terhadap radikalisme dan sasaran terorisme untuk melakukan rekrutmen personil. Ketimpangan ekonomi, kesenjangan, dan ketidakadilan diyakini sebagai dasar bagi sekelompok orang yang menyatakan bahwa pemerintah thogut yang mana sistem perekonomian haruslah diganti. Lalu mereka melakukan perubahan secara radikal. Memang, anggota kelompok radikal dari berbagai kalangan. Bukan hanya dengan latar belakang ekonomi rendah, tapi juga dari kalangan ekonomi mapan. Dengan begitu, akar radikalisme dari faktor ekonomi bukan semata-mata kondisi ekonomi secara personal yang sedang dialami. Namun juga berupa empati dan keinginan untuk mengubah perekonomian secara global akibat didasari isu ketidakadilan menjadi faktor munculnya perilaku kekerasan. Ketiga, perkembangan ilmu dan teknologi telah merangsek masuk hingga ke wilayah pedesaan hanya melalui akses internet pada gawai, seseorang dapat terhubung dengan berbagai informasi dan orang-orang yang ada di seluruh dunia.
Ternyata hal ini membawa dampak besar terhadap cara berkomunikasi sekaligus memperoleh informasi. Banyak kasus radikalisme dan terorisme terungkap bearwal dari internet. Sebagian besar mereka memanfaatkan internet sebagai media komunikasi konsolidasi gerakan. Informasi dari internet inilah kemudian memberikan inspirasi bagi pelaku untuk melakukan aksi yang dianggapnya sebagai bagian dari jihad.
Memang ruang digital saat ini menjadi arena kontestasi. Sayangnya ruang media sosial kini kerap didominasi nilai keagamaan yang menjurus pada eksklusivitas. Dari berbagai kasus radikalisme dan terorisme yang terungkap, sebagian besar mereka memanfaatkan media sosial sebagai media komunikasi dan konsolidasi gerakan. Berbagai informasi melalui media sosial ini kemudian memberikan inspirasi bagi pelaku untuk melakukan aksi yang dianggapnya sebagai bagian dari jihad.
Dengan begitu, kiranya perlu dilakukan upaya kontra radikalisme dengan cara membangun moderasi beragama di ruang digital melalui integrasi antara Islam Washatiyah dengan dakwah di media sosial. Sebab, secara prinsip Islam Wasthiyah berlandaskan pada sikap yang inklusif, humanis dan toleran. Nilai-nilai tersebut sebagai landasan untuk berfikir, bersikap atau bertindak sesuai dengan kondisi budaya Indonesia yang multikultural.
Selayaknya, kesalehan sosial yang berasal dari hubungan antara Allah dengan manusia termanifestasi dalam kehidupan sehari-hari. Bentuk tersebut antara lain berperilaku baik, menghormati, menghargai, seimbang, berlaku adil dan sikap bernilai baik lainnya. Ekpresi dari manifestasi ini di era cyberculture dapat dilakukan di ruang-ruang digital untuk mengajak kebaikan dan perdamaian.
Kendati demikian, untuk menuai keberhasilan dakwah di media sosial era milenial ini setidaknya memperhatikan tiga aspek yakni; estetika visual, menggunakan cara yang komunikatif seperti forum tanya-jawab, dan strategi marketing. Namun, hal yang menjadi penting adalah mengenai strategi market media sosial. Maka dari itu, perlu dilakukan bagaimana caranya moderasi beragama dapat diterima pengguna media sosial.
Mengapa hal itu diperlukan? Jawabanya adalah karena marketing yang kreatif merupakan langkah untuk menyampaikan gagasan kepada kalayak dengan langkah yang berbasis digital dan tersebar di internet.
Begitu juga moderasi beragama Islam Wasathiyah. Untuk mengekspresikan kesalehan sosial, bisa dikemas semanarik mungkin sesuai kondisi kontekstual saat ini agar setiap pesan dapat tersampaiakan, mendidik, memengaruhi, sehingga berdampak pada perubahan dalam diri individu atau masyarakat di ruang digital secara luas.
Untuk menyongsong Indonesia Emas, kiranya perlu digitalisasi moderasi beragama dengan mensublimasi nilai-nilai Islam Wasathiyah dengan budaya pop yang berkembang dan disebarkan melalui media sosial. Namun demikian, moderasi itu jangan sampai menghilangkan unsur subtansi dari nilai-nilai Islam itu sendiri.
Dengan begitu, radikalisme akan terbendung dengan sendirinya dan moderasi beragama di Indonesia serta persatuan akan terjaga.
- penulis alumnus Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, tenaga pengajar di IAIN Ponorogo dan Penyuluh agama Islam Kemenag spesialisasi kerukunan umat beragama.(abumuslimm04@gmail.com)
Kader pmii militan