Oleh: Aditya Akbar Hakim
MEPNews.id – Baca dan buku adalah dua kata terasing dari budaya masyarakat kita. Untuk konteks membaca dalam arti umum dan khusus. Masih sedikit jumlah orang dengan minat baca tinggi. Bahkan, akan jauh lebih sedikit lagi jumlah orang yang mau membaca buku.
Artinya, membaca bukan kebiasaan kita. Atau, mendaras buku belumlah menjadi denyut di setiap aktivitas. Membaca buku bagai terkucil di lokasi terpencil. Jauh dari hiruk pikuk ramainya aktivitas lainnya.
Membaca hanya untuk mereka para terpelajar. Bila kebetulan bukan golongan terpelajar. Tak perlu dulu untuk membaca. Sehingga membaca buku itu milik mereka yang tengah belajar di sekolah. Dan mereka yang sedang di ruang perkuliahan. Dosen dan mahasiswa. Guru serta siswa. Itulah komponen utama pelaku aktivitas membaca buku.
Jika demikian, berarti membaca buku bukan untuk mereka yang berada di luar empat komponen tersebut. Paradigma ini nyatanya telanjur mengakar kuat ke pikiran masyarakat.
Oleh karena itu, perlu upaya intensif untuk meluruskan pola pikir keliru tersebut. Upaya ini mesti komprehensif. Menyentuh substansi. Ada proses yang berkelanjutan. Terutama pada keterlibatan membaca untuk masuk ke dalam kurikulum sekolah. Tidak mungkin secara instan kemudian bisa berubah. Perlu usaha berpadu proses menuju ke hasil nyata. Agar pola pikir itu bisa berubah.
Caranyan, kita mulai dari diri sendiri. Kita pahami ulang defenisi dari membaca. Kita harus segera mengubah prespektif sempit itu. Yakni cara berpikir yang keliru tentang membaca mesti diluruskan. Bahwa membaca itu punya makna begitu luas. Para pembaca bisa siapa saja. Jadi apa pun harus gemar membaca. Semua mestinya membaca.
Jika ditelisik lebih dalam. Sejatinya kita paham benar. Bahwa dengan membaca. Terutama dari buku yang dibaca. Sungguh manfaatnya begitu besar. Membaca buku mampu meledakkan potensi manusia. Membuka tabir gelap menjadi terang berpendar cerah. Membuat pengetahuan, wawasan, serta pengalaman kita semakin bertambah.
Apalagi ketika kita membaca buku. Maka kita sama sekali tidak sedang berhadapan dengan musuh dari luar. Artinya, membaca bisa kapan serta di mana pun. Tantangan untuk membaca sejatinya timbul di dekat kita. Rintangan itu bukan orang lain. Musuh itu datang dari dalam. Diri kita sendiri ini adalah musuh. Jadi, sudi dan bersediakah kita membaca buku? Inilah musuh utama kita.
Belum lagi. Meminjam kalimat Suparto Brata. Ternyata membaca buku itu jalan mengubah takdir. Menjadikan nurani lebih bijak. Sudah cukup bukti. Bahwa bangsa Indonesia sekarang kian banyak yang tidak cerdas dan tidak jujur. Suka menyalahkan orang lain. Munafik. Mudah bertindak beringas dan membuat onar. Hiperkritis berbalut fitnah yang menyebabkan banyak fenomena pembunuhan karakter.
Ada rentetan panjang dari bobroknya pada budaya membaca. Salah satu akibat budaya membaca buku yang buruk. Kasus yang pernah terjadi, meski telah beberapa tahun silam. Yakni meninggalnya Haringga Sirila. Suporter klub sepak bola yang mati akibat digebuki oleh suporter klub lain itu. Saat hendak menonton klubnya bertanding. Haringga merenggang nyawa dengan cara yang amat brutal. Cara kematiannya begitu sadis. Bahkan melecehkan nilai kemanusiaan.
Lantas, apa korelasi kasus Haringga dengan budaya membaca buku. Di sinilah keterkaitan itu bertaut. Sebab, bagi seorang pembaca tekun, atau para pribadi kutu buku. Mereka pasti lebih bisa menahan ego untuk tidak mengumbar amarah.
Orang yang berbudaya membaca pasti lebih punya kematangan psikologi. Emosinya pun lebih terkendali bukan labil. Sebab dirinya telah begitu banyak menyerap hikmah dan nasihat dari buku-buku yang dibaca.
Semua itu akibat positif dari membaca buku. Produk abstrak dari merk bernama membaca buku. Membudayakan membaca buku. Berarti sama artinya dengan meningkatkan kualitas peradaban. Manusia pembaca jauh lebih beradab daripada yang bukan pembaca. Ada pembeda cukup tajam antara kutub keduannya.
Lantas. Penulis teringat pula pesan Ali bin Abi Thalib. Dengan sedikit gubahan. Bahwa, tangan dan lidah seorang pembaca buku. Tentu berada di belakang akalnya. Sedangkan, mereka yang bukan pembaca buku. Akal selalu di belakang dari tangan juga lidahnya.
Oleh karenanya. Bila ada sekelompok suporter bola bertindak ugal-ugalan. Serta kebiasaannya bertindak anarkis. Jika ingin diubah. Salah satu upayanya. Mereka harus digemarkan membaca. Mereka wajib membaca. Sebelum menonton bola kiranya perlu banyak membaca dulu. Menjadi suporter bola juga mesti berbudaya membaca. Sebab suporter merupakan satu dari sekian banyak peran yang dijalani oleh seseorang.
Berperan jadi apa pun. Bahkan profesi di segala bidang. Selama yang bersangkutan gemar dan berbudaya membaca buku. Hidupnya pasti tertata. Ada cukup nilai yang bisa menjadi kontrol dirinya. Pokok utama. Takdirnya pun berubah.
situs toto
situs toto
situs toto
situs togel terpercaya
situs toto
scatter hitam
slot demo
mpo slot
barbartoto
barbartoto
slot77