Makna Keberkahan Bisnis dan Rezeki (4)

Bisnis Label dan Bisnis Hakikat

Oleh: Yusron Aminulloh

MEPNews.id – Di tengah-tengah “perjalanan” menulis keberkahan bisnis, 2 orang sahabat inbox di Facebook. Sahabat Facebook yang tidak pernah jumpa fisik tapi aktif di media sosial.

Pertama, mereka menulis : Saya tertarik tulisan-tulisan bapak. Terutama saat menganalogikan mendidik balita dengan menemani proses pembangunan perusahaan. Sesuatu yang sering saya baca rumit, jadi sederhana.

Respon positif pembaca seperti ini tidak pernah lama tersimpan, takut jadi lalai terus bangga dan sombong yang akan menurunkan tulisan kesederhanaan kami. Tapi kami bersyukur, ada manfaat tulisan-tulisan kami selama ini.

Kedua, kalau kasus bisnis Syariah, First Travel, kebun Qurma di Jawa Barat, dan rumah Syariah di Sidoarjo, bagaimana catatan bapak? Tanyanya.

Tentu tidak mudah menjawab kaitan bisnis syariah. Karena kami pemula dan belum layak ikut membahas. Keilmuan kami minim, karena itu kami punya banyak kawan doktor bisnis syariah sebagai guru dan pembimbing.

Kalau dibahas dalam konteks keberkahan bisnis, kami beri 3 catatan sesuai pertanyaan.

Pertama, bisnis First Travel adalah contoh bisnis di jalur syariah (wilayah ibadah), tetapi melanggar amanah yang diterima. Andaikan betul margin keuntungannya kecil, tetapi kalau istiqomah di jalurnya, pasti banyak kemudahan. Karena niat awal memang memudahkan jamaah. Maka dana masuk mengalir deras sampai triliyun rupiah.

Tapi sayang owner gegar budaya, tidak kuat iman. Imajinasi bisnisnya liar. Ia pakai dana jamaah itu untuk mendirikan perusahaan dan bisnis baru yang dibayangkan sebagai penyanggah bisnis utama.

Ia lupa telah melanggar etika bisnis. Bisnis utamanya belum kokoh, fundamental finansialnya belum aman, network dengan jaringan utama binis umrohnya (penguasaan jaringan dengan penerbangan, kedutaan Saudi, birokrasi belum kuat), ia sudah bergeser ke bisnis lain.

Akibatnya bisnis utama ambruk, sederet bisnis lain tergerus, bahkan langkahnya terbogol oleh hukum yang ia ciptakan sendiri. Borgol itu tumbuh karena tidak istiqomah. Inilah pelajaran kita yang main-main dengan amanah.

Kedua, perihal kebun kurma yang terjadi di Jawa Barat. Kami catat ada 3 titik lemah.

Pertama, menggunakan nama syariah, tapi hanya labelnya, bukan hakikatnya. Karena kalau paham syariah, mereka paham aturan hukum. Baik hukum agama maupun hukum negara. Terbukti legalitas usahanya ternyata minim. Izin lokasi, rekomendasi dasar dari pemerintah daerah tidak mereka pegang. Modal izin PT dianggap sudah sah. Padahal itu hanya legalitas awal yang harus diikuti puluhan legalitas lain.

Kedua, semangatnya syariah, tetapi perusahaan ini tidak punya kesungguhan menjaga nama Islam. Terbukti, dari 500 hektare yang ia janjikan hanya puluhan hektare yang sudah dibebaskan dan dilunasi. Lainnya, masih rencana. Padahal dari uang masuk user cukup untuk membebaskan tanah-tanah itu.

Ketiga, kemauannya terlalu besar. Jumlah jamaah ribuan dan tak terseleksi ketat. Akibatnya komunikasi manajemen dan user buntu. Masalah-masalah kecil tidak terkomunikasikan, sampai akhirnya melebar luas.

Inilah pelajaran besar bagi kawan-kawan yang menggunakan bendera syariah, tetapi kebijakan owner dan manajemen masih kapitalis. Mencari untung semata. Hal demikian yang terjadi di perumahan syariah di Sidoarjo.

Seharusnya, bisnis itu hakikat. Atau substansi. Gunakan cara syariah dalam kesungguhan berbinis dan menjalankan amanah. Bukan hanya labelnya.

Bisnis syariah adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan jual beli yang berlandaskan hukum syariah atau sistem Islam. Jadi bisnis ini dibatasi oleh cara mendapatkan keuntungan dan mengembangkannya dengan konsep halal dan haram. Jika halal dijalankan namun jika haram maka ditinggalkan. ****
(Bersambung)

Facebook Comments

Comments are closed.