Oleh: Faidatur Robiah
MEPNews – “Orang-orang yang beriman, dan anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan. Kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka dan Kami tiada mengurangi sedikit pun dari pahala amal mereka. Tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang dikerjakannya.” (QS. At-Thur [52]: 21)
“Ma, jangan shalat, untuk apa sih?” tanya anakku yang baru akan menginjak 3 tahun.
Aku tersenyum kepadanya sambil berpikir jawaban apa yang tepat untuk anak seusianya.
“Mmm.. Mama sayang Radiv, Radiv sayang Mama. Allah sayang Mama, maka Mama juga harus sayang Allah,” kataku kepadanya.
Dia berpikir keras mencerna setiap kata yang saya ucapkan.
“Kalau Mama sayang Allah, maka Mama melakukannya dengan shalat,” lanjutku berkata kepadanya.
Dia mulai mengangguk-anggukkan kepala lalu bersikap tegak berdiri dan mengangkat kedua tangan di atas kepala.
“Allahu Akbar, begini ya?” dia bertingkah seperti orang yang sedang takbir.
Sebelumnya, dia memang lebih sering menangis atau merengek manakala saya sedang shalat. Entahlah mengapa itu terjadi, mungkin salah satu sebabnya karena ia merasa sendiri dan tidak diajak bicara selama saya beribadah. Biasanya saya membiarkan dan tangisnya akan reda dengan sendirinya sambil dia duduk di sebelah. Terkadang, jika kondisinya membutuhkan untuk diperhatikan, saya menggendongnya dan tetap dalam gerakan shalat.
Baru-baru ini, perasaan sedih karena merasa sendiri itu berubah menjadi girang. Saat sudah takbir, dia langsung berlari dan bergelayutan di kaki dan perut saya. Saat yang ditunggu-tunggu adalah saat saya sujud. “Aku naik dulu,” begitu ucapnya dengan girang. Terhadap hal itu saya juga biasanya membiarkan dan baru akan memberi pengertian seusai salam dan berdoa.
“Kalau Mama shalat, Radiv juga ikut shalat. Di sini, di samping Mama.” jelasku sambil menunjuk ke arah sajadah kecilnya.
Dia bergegas bediri kemudian mempraktikkan gerakan sujud di atas sajadahnya. Tak lama, hanya kisaran detik lalu bangkit dan berlarian lagi sesuka hatinya. Saya tertawa melihat kelucuan itu. Hahaha, tingkah pola anak kecil memang sering kali membuat gelak tawa. Sang ayah pun ikut tertawa bersama.
Ya, sudah hampir 3 bulan ini, suami lebih sering shalat berjamaah bersama kami di rumah. Masa karantina yang dijalani membuat aktivitas mengajar dan mengisi acara-acara motivasi yang biasa ia lakukan menjadi dibatasi dan bahkan ditiadakan sama sekali. Tidak apa-apa, semua pasti ada hikmah yang hendak disiapkan Allah Swt dalam setiap usaha dan pengorbanan kita saat mengusir wabah ini dari negeri.
Benar saja, salah satu hal yang patut disyukuri saat ini yaitu Allah menghadirkan keluasan waktu dalam mendidik, memberi pengajaran serta mempertebal keimanan anak-anak kita. Jika sebelumnya kita lebih banyak menyerahkan pendidikan anak-anak kepada bapak atau ibu guru di sekolah, saat ini kita sebagai orang tuanyalah yang memiliki andil besar. Kembali kepada fitrah bahwa orang tua adalah madrasah yang paling utama bagi anak tercinta.
Sesungguhnya orang tua bukanlah guru sementara hanya karena mereka menggantikan peran guru di sekolah selama masa karantina ini. Semua orang tua adalah guru, selamanya untuk anak-anaknya. Saya teringat akan curhatan seorang sepupu di media sosial miliknya. Dia menuliskan sebuah percakapan singkat antara dirinya dengan seorang teman.
“Rahmi, bagaimana rasanya jadi guru sementara, enak nggak?” tanya temannya itu.
“Hmm, bagaimana bisa kamu menyebutku guru sementara? Aku adalah seorang ibu, sekolah pertama untuk anak-anakku dan aku bahagia,” begitu balasnya seolah sebuah tamparan yang begitu keras.
Dalam hati, saya membenarkan kalimat itu dan langsung memberikan jempol. Jika bisa mengacungkan jempol 1000, tentu sudah saya klik berulang kali status medsos itu. Bagaimana tidak, era ini ibu yang berpikiran seperti itu tidaklah banyak. Ibu yang dengan sangat ikhlas menemani sang anak belajar, tanpa banyak mengeluh dan senantiasa melakoni perannya dengan baik, di saat banyak berita mengisahkan tentang beberapa ibu yang sibuk berkeluh kesah karena kesulitan mengajarkan anaknya belajar. Sang anak tidak mau menurut, jadilah setiap hari membentak dan memarahi menjadi jalan yang dipilih.
Alhamdulillah dari sekian banyak keluh kesah ibu di masa karantina ini, masih ada ibu yang terus mendampingi anak belajar secara ikhlas tanpa banyak berkeluh kesah. Memang saya sendiri belum berada pada posisi tersebut, sebab anak belumlah berada di usia “Harus Sekolah”. Selama ini sekolahnya ya di rumah bersama saya selaku ibunya. Terkadang jika ayahnya tidak sedang bekerja, maka saya terbantukan dengan hadirnya Bapak Guru sebagai rekan guru. Begitulah keseharian kami.
Saya pribadi sangat bersyukur bisa belajar dari petikan dialog yang nyata dialami oleh sepupu saya tersebut. Semoga pekikan semangat ikhlas untuk turut andil dalam mencerdaskan anak selalu tertanam pada diri kami dan kita semua tentunya.
Bayangkanlah, jika kalimat ini tertanam pada jiwa seluruh ibu di dunia, maka sungguh setiap anak di muka bumi ini akan merasa bahagia karena kasih sayang yang melimpah dari orang tua. Bukankah pendidikan yang berhasil salah satu sebabnya adalah karena kasih sayang orang tuanya? Ya, sebab anak yang bahagia akan merasakan kedamaian sehingga ia lebih mudah menerima pembelajaran. “Happiness is an easy way to learn something”.
Dibalik derita dan perasaan cemas ternyata Allah menghadirkan kenikmatan di sisi lainnya. Ya, berkumpul bersama keluarga adalah nikmat yang tiada tara. Jika biasanya bapak dan ibu sibuk bekerja, sekarang bisa sering berkumpul bersama anak-anak tercinta, turut andil dalam mencerdaskan dan menguatkan fondasi keimanan bersama-sama.
Masya Allah, sungguh di balik musibah yang sedang melanda negeri kita ini, Allah menghadirkan surga pada banyak keluarga. Benar, inilah potret sesungguhnya dari kalimat yang sering kita dengar, “Baiti Jannati”. Setiap anggota keluarga saling menyunggingkan senyuman, mengedepankan keikhlasan tanpa harus sibuk mengeluhkan berbagai pengorbanan.
Semua itu dilakukan demi satu tujuan, agar satu keluarga bisa senantiasa bergandengan tangan menuju surga yang telah Allah janjikan. Bismillah, semoga kita semua termasuk golongan keluarga yang dirahmati Allah Swt hingga sampai ke Jannah-Nya. Inilah saatnya, menghadirkan baiti jannati saat karatina negeri. Rabbana hablana min azwajina wadzurriyyatina qurrata ‘ayun waj’alana lil muttaqina imama. Amin.