Oleh: Indarti
MEPNews.id – Wajah laki-laki kecil di hadapanku ini semakin ciut. Dari matanya kulihat ada genangan air mata yang hampir menetes. Seperti putus asa.
“Ayo, Jundan. Baca sekali lagi,” perintahku sambil kutunjukkan huruf-huruf di buku yang ada di depannya.
Dia diam sejenak. Berpikir apa bunyi huruf di depannya. Perlahan dari mulutnya terdengar lirih suara.
“A da…. bu ku… di ru,” Jundan membaca dengan terbata- bata
“Ya Allah… Bukan diruu, Jundan. Tapi biruuuu,” jawabku dengan suara sudah mulai menaik dan rasanya sungguh kesal. Betapa tidak? Sudah berulang kali dia belum bisa membedakan antara huruf b dan d. Tidak hanya itu, dia tidak hafal hampir separo huruf.
Kusuruh Jundan kembali ke tempat duduknya, sebelum kesabaranku habis. Jundan selalu memilih duduk sendirian di bangku belakang, karena jumlah anak laki-laki yang ganjil.
Mengapa begitu sulit mengingat huruf-huruf yang bagi sebagian anak anak yang lain begitu mudah.
Jundan adalah salah satu muridku di kelas 1 di mana aku menjadi wali kelas. Dari pertama masuk sekolah, sudah kuamati anak ini. Rasanya ada sesuatu yang harus aku ketahui.
Awal masuk di sekolah, Jundan selalu diantar dan ditunggui bapaknya. Menangis tiap pagi adalah kebiasaannya sebelum masuk kelas.
Karena penasaran dengan anak ini, suatu saat kuluangkan waktu untuk mengunjungi rumahnya. Dari hasil kunjunganku, akhirnya kuketahui Jundan sejak umur 2 tahun sudah ditinggalkan oleh ibunya menjadi tenaga kerja wanita di luar negeri.
Benar dugaanku. Jundan sejak usia 2 tahun tak pernah merasakan pelukan hangat ibunya. Selain itu, Jundan tidak mengenyam pendidikan TK Besar. Jadi itu sebabnya ia belum mengenal abjad.
Hari itu Jundan menangis lagi di depan kelas. Ketika kudekati dan kuajak masuk, ditepisnya tanganku dan digandengnya erat tangan bapaknya. Kubiarkan sejenak sampai tangisnya agak mereda. Akhirnya ia mau masuk kelas dengan diantar bapaknya.
Namun, ketika ditinggal bapaknya keluar kelas, tangisnya kembali terdengar. Kulihat bapaknya emosi karena kesal. Akhirnya kurengkuh Jundan dan kepeluk erat. Tangisnya malah semakin menjadi. Kuberi tanda pada bapaknya untuk meninggalkan kelas. Dengan pelukan yang kuperketat dan kuelus punggungnya, akhirnya tangisnya mereda.
Masih dalam pangkuanku aku mencoba bertanya
“Jundan, mengapa menangis sampai seperti tadi?”
Jawabannya membuat tenggorokanku serasa tercekat.
“Aku kangen mama, Bu?” tangisnya mulai terdengar lagi walau hanya berupa isakan.
Tak terasa air mata yang tadi masih berusaha kutahan akhirnya mengalir juga. Kupeluk erat dia.
Sejak usia dua tahun Jundan tak pernah merasakan hangatnya pelukan seorang ibu.
Empat bulan berlalu. Jundan aku suruh maju ke depan membaca. “Mari menari tari Jawa!”
Kupeluk erat dia dengan air mata tak terbendung.
Jundan, maafkan gurumu ini karena pernah begitu marah karena ketidaksabaran menunggu kebisaanmu.
Penulis adalah guru di SD Islamiyah Magetan, Jawa Timur