Sarjana Salah Kamar

Foto : Ilustrasi

MEPNews.id – Ada dua sampel yang ingin saya hadirkan melalui tulisan berikut.

Pertama, ada teman saya yang lulusan S1 Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, ternyata waktu itu setelah melalui serangkaian tes yang sangat ketat, ia pun diterima bekerja sebagai Coustemer Servis pada salah satu bank BUMN. Tentu boleh jadi ini satu profesi yang cukup punya reputasi, apalagi jika bicara soal gaji, pastinya sangat cukup guna menutup kebutuhan sehari-hari.

Sampel satunya yakni, ia jebolan Pendidikan Ekonomi tetapi ia malah nekat mengajar mapel bahasa Indonesia. Ia memang alumni kampus kependidikan, satu rumpun ilmu yang sama cuma fakultas, jurusan, dan prodi berbeda. Saya kurang tahu apa dasar kenekatannya hingga ia tetap menjalani profesi menjadi guru mapel yang tak linier itu.

Sementara itu, dari dua contoh di atas, dua fenomena yang mungkin hanyalah bak puncak gunung es, mungkin yang demikian itu banyak tetapi tak kasat mata. Mungkin pula tampak sepele dan sedikit remeh tetapi sejatinya yang demikian itu nyata adanya, dan apabila hendak kita perluas jumlah serta cakupannya, boleh jadi contohnya bisa bertambah.

Kiranya saya cukupnya hanya dua contoh itu, betapa fenomena demikian bila hendak kita amati secara kritis, di situ pasti ada yang janggal, di situ pasti ada yang tidak beres, dan di situ pasti ada mis-pola pikir bila tentang bekerja ternyata hanya diartikan sekadar mencari gaji, sehingga bekal ilmu dari bangku sekolah dasar hingga pendidikan tinggi malah kerap dianaktirikan, yang penting dapat pekerjaan, soal apa ijazahnya kadang tak lagi relevan karena bidang profesi pekerjaan yang dilakoni sangat berjarak dengan disiplin ilmu yang dimiliki.

Oke saat alibi yang disodorkan adalah mumpung ada peluang, dan bila untuk bisa diterima bekerja itu pasti ada seleksi ketat, pasti ada mekanisme saringan plus saingan yang cukup rapat plus banyak, sehingga kalau akhirnya bisa diterima meski kualifikasi pendidikan tak selalu nyambung dengan formasi yang dilamar, toh nyata bila hasilnya ternyata baik, termasuk kapasitas, serta kapabilitas, dan integritas dapat memenuhi syarat sehingga hasilnya pun bisa lolos seleksi.

Akan tetapi, jika fenomena yang saya istilahkan sebagai sarjana salah kamar itu tetap dibiarkan, atau artinya tarulah saat pihak pemilik perusahaan, lembaga, atau instansi penyerap para fresh graduate tetap ingin melanjutkan perekrutan dengan berdalih siapa saja boleh ikut seleksi, maka apalah guna saat kuliah perlu diklasifikasikan berdasar prodi, jurusan, fakultas, hingga universitas. Bukankah semakin tinggi pendidikan seseorang maka semakin mengerucut lalu tajam penguasaan serta keahliaan yang dirinya kuasai.

Jika hal itu dibiarkan, barangkali kita boleh agak cemas dengan satu nasihat bijak saat satu pekerjaan diserahkan kepada yang bukan ahlinya maka tunggulah masa kehancurannya.

Ijazah itu memang penting, ijazah yang linier dengan bidang perkerjaan yang dijalani itu tentu ideal. Namun, memaksakan satu pekerjaan kepada yang bukan bidangnya atau bahkan sama sekali tidak ada korelasi dengan pendidikan formal yang pernah dijalani pasti membuat rentan keadaan.

(Aditya Akbar Hakim)

Article Tags

Facebook Comments

Comments are closed.