UGM Siapkan Rumah Mandiri Energi

MEPNews.id – Sugi (49 tahun) membawa ceret air untuk diletakkan di atas tungku kompor. Klik, ia memutar knop kompor ke kiri. Kompor pun menyala dengan warna api biru. Seketika, tercium bau gas metan dari kotoran sapi. Namun, hanya sebentar. Tak lama kemudian, aromanya hilang.

“Gasnya sudah banyak, Pak?” tanya Dr. Ngadisih, Dosen Fakultas Teknologi Pertanian (FTP) UGM kepada Pak Sugi.

“Iya, Bu,” jawab Sugi sambil memperhatikan kontrol tekanan gas yang ditaruh di dinding belakang kompor.

Sugi merupakan ketua kelompok Tani ‘Mekar Sari’ Desa Leksana, Karangkobar, Banjarnegara, Jawa Tengah. Sejak September tahun lalu, di rumahnya sudah dipasang instalasi biogas dari Departemen Teknik Pertanian dan Biosistem, Fakultas Teknologi Pertanian (FTP) UGM, dalam rangka pengenalan teknologi biodigester di kampung tersebut.

Di desa ini sebagian besar penduduknya memiliki hewan ternak sapi dan kambing. Penduduk yang mayoritas berprofesi sebagai petani sayuran tersebut selama ini membuang kotoran sapi dan kambing di sekitar rumah. Kotoran ini dibiarkan mengering hingga nantinya dijadikan kompos untuk ladang masing-masing.

Sugi menuturkan, saat ini baru keluarganya yang mendapat program pemasangan teknologi biogas dari UGM. Ia berharap keluarga lain bisa mendapatkan bantuan sama sehingga bisa memanfaatkan kotoran ternak untuk energi. “Masing-masing punya ternak, tinggal dipasang alatnya,” ujarnya.

Bapak dari dua anak ini menuturkan, kompor biogas dimanfaatkan untuk kegiatan masak di dapur. “Masak air, sayuran dan gorengan,” katanya.

Sugi mengaku keluarganya terbantu dengan adanya biogas karena tidak harus membeli isi ulang tabung gas di rumahnya. “Ini sudah cukup kok,” imbuhnya.

Agar gas metan dari kotoran sapi yang ditampung di samping rumahnya selalu mengalir ke dapur, Sugi setiap hari rajin mengumpulkan kotoran sapi persis di depan rumahnya. Di lantai kandang sapi, ia buatkan saluran pembuangan limbah menuju bak penampung. Sebelum dialirkan, kotoran sapi ini dikumpulkan dalam ember berisi air dan kemudian diaduk sebelum dibuang ke saluran pembuangan.

Dikatakan Sugi, bak penampung ini bisa menampung sekitar 2.000 liter kotoran sapi bercampur air yang bisa digunakan memenuhi kebutuhan biogas sepuluh hari. Setiap pagi dan sore, ia mengisi sedikitnya dua ember kotoran sapi yang sudah ia campur dengan air.

Sugi merupakan petani sayur di Desa Leksana. Di lahan pertanian miliknya yang seluas kurang dari setengah hektare ini, ia tanam berbagai jenis sayuran hingga tanaman kopi. Menurutnya, dengan cara bertanam sistem tumpang sari, ia bisa menghidupi kebutuhan keluarganya.

Namun begitu, tidak jarang saat musim panen tiba harga sayuran sangat murah. Meski penghasilannya sebagai petani terbilang pas-pasan, namun Sugi masih memiliki ternak sapi yang sewaktu-waktu bisa dijual bila ada kebutuhan mendesak. “Bila kebutuhan agak banyak, saya jual sapi. Kalau kebutuhan sedikit, ya jual kambing,” kenangnya.

Dr. Ngadisih, dosen dan peneliti teknologi biogas dari FTP UGM, mengatakan pengembangan rumah mandiri energi sebagai bagian dari program pemberdayaan ekonomi masyarakat berada di kawasan rawan bencana. Perbukitan Karangkobar merupakan daerah kawasan pertanian di zona rawan longsor.

“Aktifitas pertanian di lereng bukit seringkali menyebabkan risiko terkena bencana banjir dan longsor. Selain pertanian, kami ingin mengajak mereka mengoptimalkan kegiatan peternakan,” katanya.

Limbah kotoran ternak belum dimanfaatkan optimal oleh masyarakat setempat. Umumnya kotoran ternak dibuang atau ditumpuk di sekitar rumah sehingga menimbulkan bau tidak sedap.“Kita mengedukasi masyarakat bagaimana memanfaatkan limbah peternakan bagi pemenuhan biogas. Sisa dari bahan biogas ini tetap bisa diubah jadi pupuk,” katanya.

Sekitar 90 persen masyarakat Desa Leksana memiliki ternak sehingga berpotensi besar untuk pengembangan energi biogas. Namun FTP UGM baru memasang instalasi biogas di rumah Sugi sebagai rumah percontohan untuk pemenuhan energi mandiri.

Untuk kegiatan mitigas bencana, FTP UGM melakukan kegiatan riset dan pemberdayaan masyarakat melalui pemantauan respons hidrologi berbagai jenis penggunaan lahan, memantau limpasan dan erosi di daerah tangkapan air, pengembangan teknik konservasi tanah dan air, serta kegiatan pembangunan sosial dan ekonomi masyarakat.

(Gusti Grehenson – Humas UGM) 

Facebook Comments

Comments are closed.