Oleh: Makhda Intan Sanusi, S.H., M.E.
Dosen dan Kaprodi Ekonomi Syariah Sekolah Tinggi Agama Islam Mulia Astuti Wonogiri
Dunia saat ini tampak gemerlap di permukaannya teknologi maju, konektivitas tanpa batas, arus informasi yang deras. Namun di balik kilauannya, banyak tanda-tanda bahwa peradaban kita tengah berada di ambang kegelapan: moral yang terkikis, identitas yang samar, manusia semakin dikendalikan algoritma, bukan sebaliknya. Di tengah kebisingan global ini, tema Hari Santri Nasional 2025, “Mengawal Indonesia Merdeka, Menuju Peradaban Dunia”, mengajak kita melihat kembali cahaya yang dapat menyinari dan di sinilah pesantren dan santri hadir sebagai lentera.
Pertama-tama, “mengawal kemerdekaan” bukan sekadar memaknai kemerdekaan fisik atau politik. Ia juga mencakup kemerdekaan akal, kemerdekaan moral, kemerdekaan dari ketergantungan ideologi, dan kemerdekaan dari alienasi teknologi. Sejarah mencatat bahwa perjuangan santri dalam Resolusi Jihad tanggal 22 Oktober 1945 pernah menjadi lambang bangsa yang mempertahankan kemerdekaan secara fisik. Hari Santri 2025 menggerakkan pesan bahwa perjuangan kemerdekaan hari ini harus dirawat, diperluas, dan diaktualisasikan dalam bingkai zaman. Kedua, ketika tema berbicara “menuju peradaban dunia”, maka secara implisit pesantren diposisikan bukan hanya sebagai lembaga kultural-keagamaan lokal, tetapi sebagai aktor yang mampu menjawab tantangan global. Krisis lingkungan, disrupsi teknologi, polarisasi sosial, serta hilangnya makna spiritual adalah realitas dunia yang tak bisa diabaikan. Dengan akhlak, ilmu agama, dan tradisi pesantren yang kuat, santri memiliki potensi menjadi motor perubahan bukan sekadar menjadi bagian dari kerumunan yang terombang-ambing.
Bagaimana konkret peran lentera ini hadir?
Di ranah moral dan identitas: ketika banyak orang tergoda narasi instan, terjerumus dalam hoaks atau ekstremisme, pesantren bisa menawarkan tempat di mana akal dan akhlak berpadu, di mana santri bukan hanya mengaji teks dan kitab, tetapi juga membaca zaman.
Di ranah teknologi dan pengetahuan: zaman menuntut penguasaan sains, literasi digital, dan kompetensi global. Pesantren tidak boleh terseok dalam paradigma lama. Santri harus dibekali dengan kemampuan membaca kode zaman: AI, data, transformasi ekonomi sosial namun tetap berada dalam kerangka nilai.
Di ranah sosial-ekonomi dan ekologi: peradaban bukan sekadar teknologi, tetapi cara manusia hidup bersama alam dan sesama. Tema besar ini memberi ruang bagi pesantren menunjukkan bagaimana tradisi sederhana, kemandirian, dan perilaku ramah lingkungan bisa menjadi model peradaban alternatif dalam era yang gemar konsumsi besar-besarannya.
Memang, tidak mudah. Ada tantangan nyata: kesenjangan fasilitas antar pesantren, serta anggapan umum bahwa pesantren hanya mengurusi “keagamaan” saja, dan tekanan global yang sangat cepat berubah. Namun bukankah lentera terbaik justru menyala di waktu gelap? Pesantren tidak harus ikut berlomba kilat-kilatan di atas panggung teknologi global yang ia butuhkan adalah terus menyalakan cahaya inti-nilai: adab, akhlak, kebangsaan, ilmu dan pengabdian.
Untuk itu, perlu tiga hal utama agar lentera itu tak padam. Pertama, inovasi tanpa melupakan akar, yakni pesantren harus membuka diri terhadap berbagai bidang ilmu dan teknologi, mengembangkan inovasi dalam kewirausahaan, serta membangun hubungan yang luas di tingkat global tanpa meninggalkan nilai-nilai dasar yang menjadi fondasi pesantren. Kedua, kolaborasi antar-generasi, di mana santri generasi sekarang perlu dibimbing agar mampu menjadi jembatan antara tradisi pesantren yang kaya dengan realitas global yang dinamis. Ketiga, visi global dengan aksi lokal, yaitu memiliki cara pandang yang luas dan terbuka terhadap dunia, namun tetap berfokus pada langkah nyata yang memberi dampak di lingkungan pesantren, desa, dan masyarakat sekitar.
Akhirnya, ketika lampu pesantren menyala di kegelapan, maka kemerdekaan Indonesia bukan hanya warisan sejarah yang diletakkan di rak museum — ia menjadi amanah hidup. Dan peradaban dunia bukan ideal abstrak, tetapi panggilan nyata: santri dan pesantren Indonesia bisa menampilkan wajah bangsa yang bukan hanya merdeka, tetapi bermartabat dan berkontribusi di panggung dunia.
Semoga di Hari Santri 2025, bukan hanya seremonial belaka, tetapi kita benar-benar menyalakan lentera di tengah dunia yang butuh cahaya. Karena peradaban yang cerah lahir dari jiwa yang terang, dan santri adalah penjaganya.



POST A COMMENT.