Oleh: M. Yazid Mar’i
mepnews.id – Kontribusi santri dalam sejarah kemerdekaan bangsa dan negara Indonesia tentu tidak bisa dimungkiri oleh siapapun.
Nilai-nilai cinta tanah air yang menjadi keyakinan santri tertanam secara estafet dari para kyai terbentang dari Sabang sampai Merauke; Aceh, Minangkabau, Banjarmasin, Banten, Serang, Rembang, Demak, Mataram, Tuban, Jombang, Bojonegoro, Gresik, Drajat Lamongan, Ngampel, Besuki, Situbondo, Banyuwangi, Bangkalan, Sampang, Tidore, Ternate, Makasar, dan daerah-daerah lain. Keyakinan ini melahirkan kesadaran moral santri mengusir penjajah kolonial yang bertentangan dengan hak dasar manusia untuk merdeka, hidup sejahtera dan berkeadilan sebagai ajaran Nabi Agung Muhammad SAW.
Salah satu puncak perjuangan dalam mempertahankan kemerdekaan adalah 22 Oktober 1945. Ketika kaum kolonial ingin merebut kembali kemerdekaan yang sudah diproklamirkan, muncullah resolusi jihad. Ini adalah seruan jihad melawan kembalinya kaum kolonial. Dengan satu hati, satu tekad, isi seruan ini tegas; Merdeka selamanya.
Penetapan 22 Oktober sebagai Hari Santri Nasional (HAN) adalah salah satu bentuk pengakuan sejarah terhadap kontribusi santri dalam mencapai kemerdekaan dan mempertahankan kemerdekaan dari kekuasaan penjajah kolonial.
Namun, tentu tidak cukup hanya pada pengakuan. Keterlibatan negara pada santri dengan lembaga pendidikan agama; pondok pesantren, madrasah, ruang-ruang publik agama, juga perlu segera dinampakkan secara lebih nyata.
Peningkatan sarana keagamaan sebagai upaya komunitas agama meningkatkan kualitas sumber daya manusia di lembaga-lembaga itu, harus menjadi perhatian serius negara. Sekaligus sebagai upaya tetap menjaga moral bangsa.
Selain itu, sikap sinisme terhadap agama (khususnya Islam) yang mengarah pada islamofobia haruslah secara berangsur dihilangkan. Ini sekaligus sebagai pengakuan atas kemajemukan bangsa, potensi serta kekayaan budaya bangsa, yang telah mengakar kuat menjadi nilai-nilai di atas Kebhinekaan melalui “Bhineka Tunggal Ika”.
Keterlibatan negara kepada santri dengan segala pemikiran, sikap, dan langkah nyata, merupakan hutang negara yang sepenuhnya belum terbayar, di tengah-tengah meningkatnya kemauan kuat santri untuk tetap menjaga moral bangsa, menuju kejayaan di masa depan.
- Penulis adalah penggerak pendidikan agama di Bojonegoro-Tuban.



POST A COMMENT.