Oleh: Budi Winarto*
mepnews.id – Penilaian setiap orang tehadap diri kita pastinya berbeda. Kita tak akan bisa menjadi satu cerita yang sama di mata dan telinga semua orang. Oleh karenanya, jangan mudah tersanjung saat dipuji karena hakikat pujian adalah ujian, dan jangan mudah tersinggung saat dicaci namun jadikan cacian sebagai cambuk motivasi diri agar lebih baik lagi. Baiknya, jadilah pribadi yang apabila disanjung tidak terbang dan ketika dicaci tidak tumbang. Karena, hakikat keduanya itu sama-sama ujian.
Di era dunia yang sekarang asyiknya berbincang, tontonan terkadang tidak menjadi tuntunan, kejelekan lebih cepat mempengaruhi daripada kebaikan, dan subjektfitas terkadang lebih dominan daripada objektivitas. Di situ letak tantangannya. Terkadang, kita merasa sudah berbuat terbaik tetapi ada saja yang menilai kita kurang. Terkadang, kita sudah berusaha maksimal, tetapi adanya kesalahan meski amat kecil berdampak menutupi semua kebaikan kerja keras kita. Hal ini disebabkan orang lebih mudah menilai daripada mengerjakan. Oleh karenanya, butuh naluri yang berperan.
Naluri itu dorongan atau kecenderungan alami yang ada dalam diri manusia atau hewan, yang mempengaruhi perilaku dan reaksi terhadap sekitar. Jenisnya ada beberapa. Naluri dasar contohnya mencari makanan, melindungi diri atau bereproduksi. Naluri berupa reaksi emosional seperti takut, marah atau senang. Atau, naluri berupa kecenderungan berperilaku ingin bersosialisasi atau memiliki kebutuhan akan keamanan.
Sigmund Freud pernah memperkenalkan teori naluri dalam beberaa buku. Salah satunya, naluri adalah kekuatan alam bawah sadar yang memengaruhi perilaku manusia. Tetapi, pengaruhnya terhadap manusia tidak semua positif. Ada yang negatif, bahkan ada yang menyesatkan. Mulai dari apa yang disampaian tidak berdasar, datanya kurang kuat, hingga akhirnya menghasilkan sesuatu yang tidak akurat. Seseorang yang terindikasi memiliki naluri negatif, akan memandang sesuatu punuh dengan kenegatifan, dan bisa saja dengan cara melebih-lebihkan. Playing victim. Padahal di pikirannya ada niatan buruk.
Orang yang memiliki sifat demikian biasanya lebih dominan naluri negatif. Apa saja itu?
Pertama, naluri kesenjangan. Bila tidak dikelola positif, naluri kesenjangan akan memunculkan iri terhadap orang lain. Naluri itu hanya memberi dua pilihan, bisa berdamai dengan keadaan atau tidak. Kalau seseorang tidak mampu berdamai dengan keadaan, tidak mau berlatih dan meng-upgrade diri saat memiliki ekspektasi tinggi, maka ketika melihat temannya sukses akan langsung membuat kesenjangan. Pengaruhnya tidak akan membuat dia merasa nyaman. Padahal, jika punya naluri positif, ketika melihat teman berhasil maka ia justru bangga dan belajar memaksimalkan diri agar bisa sepadan. Ketika sisi naluri kesenjangannya kuat, tetapi tidak diiringi kerja keras, maka ia hanya membicarakan sisi negatif kesuksesan temannya yang dia anggap sebagai ancaman. Tujuan profokasinya adalah agar ia bisa menyeimbangkan kualitasnya yang terbatas dengan kawannya yang sudah sukses. Ini berbahaya, karena dia berusaha menurunkan kualitas kawannya dengan cara yang tidak benar. Orang lain dipaksa kualitasnya sejajar dengan kekurangan dirinya, bahkan dipaksa lebih rendah darinya. Itu dampak dari naluri kesenjangan yang tidak bisa dikendalikan.
Kedua, naluri kedua negativitas. Naluri ini memengaruhi seeorang untuk selalu membicarakan sisi buruk orang lain. Berita atau sisi baik apa pun dari orang lain tidak akan pernah tampak baik di mata orang yang memiliki naluri negativitas. Apa yang dia lihat selalu nampak salahnya dan tidak ada benarnya. Dalam pikirannya, hanya dia yang kelihatan sempurna, orang lain pasti ada cacatnya. Menurutnya, kesempurnaannya tidak boleh ada yang menandingi. Ketika melihat ada teman yang lebih darinya, maka ia langsung membicarakan sisi negatif kawannya itu agar orang-orang lainnya tidak percaya. Dengan jalan apa pun, ia bakal membenci bahkan menfitnah kalau perlu dilakukan.
Ketiga, naluri garis lurus. Naluri ini adalah orang yang bicaranya lurus dan tidak ada seni. Pembicaraan yang keluar dari mulutnya selalu lurus tak peduli apakah dampaknya membahagiakan atau malah menyakiti orang lain. Ceplas-ceplos, istilahnya. Orang seperti ini biasanya tidak begitu melibatkan empati dan perasaan saat berbicara. Apa pun pembicarannya, tidak bisa terkontrol dengan baik. Dia tidak mampu beradaptasi di ruang mana ia harus berkata A dan di ruang mana ia harus berkata B. Meskipun tetap dalam konteks kejujuran, naluri semacam ini dalam bingkai seni komunikasi masih belum sempurna. Apakah salah? Tentu tidak. Cuma, pengaruh naluri semacam ini kadang membuat lawan bicara kurang nyaman. Fatalnya, bisa saja malah menjerumuskan karena ada tafsir salah paham.
Keempat, naluri ketakutan. Naluri ini berdampak pada meningkatnya kewaspadaan, mendorong perubahan dan bisa mengembangkan strategi, jika itu naluri positif. Jika negatif, akan banyak lawan. Karena, ketakutan yang tumbuh negatif akan membawa perasaannya untuk tidak membiarkan orang lain bisa menyaingi dirinya. Naluri seperti ini ada karena di dalam jiwanya ada rasa tidak aman. Karena kuatir kalah, dia menganggap kesuksesan orang lain adalah ancaman. Dia harus bersikap defensive untuk menjaga ego. Maka, saat terjepit, biasanya ia akan menggiring opini untuk mencari perhatian dan mempengaruhi orang lain dengan berita yang tidak benar.
Dengan demikian, bila kita memiliki naluri negatif, segeralah sadar dengan cara membangun kesadaran diri, mengembangkan empati, menumbuhkan percaya diri, mengendalikan emosi dan mengasah problem solving skill yang baik. Dengan begitu, kita akan lebih siap tumbuh berkembang bersama pikiran positif dengan persaingan sehat tanpa harus menghakimi.
Bila kita menjadi korban naluri negatif orang lain, bisa saja kita berpura-pura tidak tahu. Pura-pura tidak tahu ini bisa dikategorikan sebagi teori relaksasi. Dengan berpura-pura tidak tahu, kita akan bisa mengelola emosi diri sendiri dan tidak terpancing naluri negatif orang lain. Yang lebih penting, kita bisa menjaga jarak emosi agar tidak terlalu terlibat dalam situasi tersebut. Dengan begitu, kita akan punya jeda untuk merespon masalah dengan lebih tenang, bisa mengendalikan situasi dengan baik, tanpa terpancing pembicaraan yang sengaja digunakan orang negatif untuk memancing kerusuhan.
Berpura-pura tidak tahu ini bukan berarti tidak tahu. Kepura-puraan ini adalah cara bijak agar bisa mencipta cukup kesadaran diri, agar pikiran tidak terbebani, dan agar bisa mengelola emosi sebagai bentuk penghargaan diri sendiri.
*Penulis kelahiran Kabupaten Malang yang sekarang berdomisili di Kabupaten Mojokerto. Motonya “Berbagi Manfaat Positif (BMP)”



POST A COMMENT.