mepnews.id – Dari Sumbawa Besar di Nusa Tenggara Barat (NTB), Aisyah Mumary Songbatumis terbang jauh berkelana ke Polandia. Salah satu bekalnya, kuliah di Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris (PBI), Fakultas Pendidikan Bahasa (FPB) Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY).
Sebagai bungsu dari empat bersaudara, tentu besar harapan keluarga ditumpahkan pada dirinya. Maka, Aisyah bertekad merantau ke Jawa. Pada 2013, ia daftar dan diterima jadi mahasiswa pendidikan bahasa Inggris UMY. Ia memang sangat suka Bahasa Inggris.
Semasa studi di PBI UMY, ia sering dimintai bantuan dosen untuk mengoreksi kaidah penulisan Bahasa Inggris teman-temannya. Bahkan, saat masih kuliah, Aisyah seolah sudah menjadi proofreader Bahasa Inggris untuk skripsi teman angkatannya.
Setelah menyelesaikan studi S1 di UMY, ia merintis bisnis lembaga pembelajaran Bahasa Inggris bernama Iruristic, di Sampir, Kecamatan Taliwang, Sumbawa Barat.
“Iruristic merupakan English learning berbasis komunitas yang saya dirikan 2016 dan sudah terdaftar di data Kemdikbudristek. Terbentuknya lembaga ini karena dorongan dosen–dosen PBI UMY dan teman–teman kuliah,” kata Aisyah.
Namun, usahanya mengalami pasang dan surut. Apalagi ia juga mengajar di Sumbawa Barat dan Sumbawa Besar yang berjarak 125 km ditempuh dengan sepeda motor. Sementara, Aisyah juga ingin melanjutkan studi magister.
Pada 2018, Aisyah melanjutkan pendidikan magister di Eropa dengan sistem perkuliahan berpindah-pindah setiap semester. Ia mengenyam pendidikan di Vistula University Polandia pada 2018, di Leibniz Universität Hannover Amnesty, Jerman, pada 2019, lalu di ESN Barcelona, Spanyol, pada 2019, dan terakhir di Erasmus Students Network (ESN) Amsterdam, Belanda, pada 2021.
Dari sini, karir internasionalnya sebagai tenaga pendidikan dimulai. Saat berkuliah di Erasmus Students Network, ia mengambil jurusan Hubungan Internasional (HI).
“Saya ingin mendapatkan pekerjaan di bidang HI, namun sulit karena masa pandemi. Akhirnya, saya melamar pekerjaan di sekolah swasta di Wesola, Warsaw, ibukota Polandia, setelah menyelesaikan studi master di Belanda pada 2021. Sudah jalan tiga tahun ini saya bekerja sebagai pengajar untuk mata pelajaran bahasa Inggris dan matematika,” ujarnya.
Aisyah mengungkapkan, proses izin bekerja di Polandia cukup mudah karena ia memiliki ijazah Eropa. “Pengurusan izin saya itu tidak ada. Karena saya memiliki ijazah dari Eropa, melamar pekerjaan di Polandia jadi lebih mudah. Hanya butuh legalisir ijazah dari Kedutaan Besar Indonesia di Polandia.”
Meski demikian, tentu ada tantangan mengajar di negara dengan budaya berbeda. Aisyah perlu kesepahaman menyamakan sudut pandang dengan tenaga pendidik lainnya. Hal itu dianggapnya sebagai keragaman perbedaan yang indah karena ia dapat membuka pola pikir lebih luas daripada sebelumnya.
“Di Indonesia, yang dicari kesamaan sudut pandang. Kalau di sini, yang dicari justru perbedaan sudut pandang. Inilah yang menjadi tantangan bagi saya,” kenangnya.
Terlepas dari segala tantangan yang dihadapi, Aisyah merasa menjadi guru sudah bawaan DNA. Profesi mulia ini juga digeluti orang tuanya. Ia juga meyakini, belajar dan mentransfer ilmu merupakan cara terbaik untuk mendapatkan pembelajaran yang lebih dalam.
“Saya juga percaya, guru itu lebih dari sekedar mengajar dan belajar, tetapi juga mengembangkan bangsa dan rakyat Indonesia. Maka, selama di Eropa, saya tetap melakukan transfer ilmu melalui Iruristic,” kata Aisyah.
Selain jadi guru di Polandia, Aisyah aktif dalam kegiatan edukasi non formal. Salah satunya dengan bergabung dalam Forum of European Muslim Youth and Student Organization (FEMYSO) sebagai project coordinator dan dalam MRN (Muslim Researchers’ Network).
Dari banyaknya pengalaman dan perjalanan hidup, Aisyah berpesan agar generasi muda mau membuka jendela cakrawala lebih luas. “Generasi muda perlu memiliki pandangan luas untuk melihat peluang dan kesempatan,” kata Aisyah. (NF)


