Adakah Cara Terbaik Meperlakukan Hidup?

Oleh: Budi Winarto*

mepnews.id – Ketika hidup itu pilihan, sudahkah kita memiliki pilihan yang benar? Pertanyaan ini terkadang ada di benak kita. Namun tidak semua dari kita berpikir harus seperti apa memperlakukan hidup.

Gemerlap dunia terkadang membuat kita lupa untuk bisa memikirkan tujuan hidup yang sebenarnya, sehingga kemudian kita memilih pilihan yang salah. Warna-warni hidup yang menggoda membuat kita mampu membuat pilihan hidup tetapi lupa akan tujuan hidup.

Apalagi saat hidup harus berhadapan dengan realitas yang jauh dari kata ideal. Ujian berupa cobaan, rintangan, dan hambatan terkadang tidak kita sikapi dengan bijak. Lalu kita memilih hanya kebaikan dunia, tapi lupa akibat di akhirat kelak. Tentu pilihan semacam itu akan menjadi masalah.

Seperti halnya adanya malam karena adanya siang, adanya baik karena ada keburukan, adanya laki-laki karena diciptakannya perempuan, maka begitu juga dengan hidup. Adanya kehidupan itu karena ada kematian. Di sela hidup dan mati itu, ada proses yang harus kita jalani.

Namanya juga pilihan. Dalam proses memilih inilah manusia bisa menentukan baik atau buruk, selamat atau celaka, untuk mencapai tujuan hidupnya. Jadi betapa pentingnya kita memiliki tujuan hidup.

Di dalam surah Az-Zariyat ayat 56, Allah SWT berdeklarasi saat penciptaan manusia, “Aku (Allah) tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku.”

Dari ayat ini, betapa jelasnya tujuan Allah menciptakan jin dan manusia. Mereka diciptakan Allah untuk beribadah kepada-Nya. Tidak lebih dari itu.

Ibadah adalah cara penghambaan ciptaan kepada penciptanya. Apakah nanti ciptaan yang berjenis jin dan masusia mau beribadah atau ingkar, Allah tidak butuh itu. Karena semua itu adalah pilihan mereka. Hanya saja Allah memberikan konsekwensi dari setiap pilihan manusia dengan hukum sebab-akibat.

Pelajaran yang bisa kita petik dari ayat ini, kalau Allah Sang Mahapencipta saja memiliki tujuan dalam menciptakan sesuatu, masak kita sebagai makhluk ciptaan tidak memiliki tujuan hidup? Padahal kita makhluk hidup yang diberikan akal.

Agama adalah jalan untuk mencapai kebenaran. Dengan ajarannya, agama menuntun manusia ke arah yang benar. Beribadah, selalu berbuat baik dan meninggalkan yang mungkar, itu salah satu tuntunannya.

Agama itu ibarat pembatas. Di saat orang berbuat salah, tetapi berpegang teguh pada ajaran agama, maka ilhamnya suatu saat akan menyadarkan dirinya kembali ke jalan yang benar. Tetapi, kalau ada orang beragama, lalu mengetahui dengan sadar bahwa jalan hidupnya salah, tapi memaksakan dirinya untuk tidak berubah, maka sesungguhnya ia sedang tersesat jalan. Sepertinya, ajaran agama tidak ada bagi orang tersebut.

Ketika orang mencurahkan hidupnya untuk melaksanakan ajaran agama, maka tindakannya akan berwujud kebaikan. Bukan hanya untuk kepentingan pribadi tapi juga secara luas.

Khusus agama Islam, menjalani ajaran agama semakin mudah karena hadirnya Al-Qur’an. Kitab suci ini bukan hanya sekadar pembimbing agar manusia tidak tersesat, melainkan juga sebagai petunjuk bagi akal dan pikiran manusia beserta seluruh indranya agar menggunakan sumber ilahiyah untuk menjadi ahsani taqwim. Dan, ini bisa dijadikan tujuan hidup.

Untuk mencapai semua sebenarnya bukanlah hal yang sulit. Allah SWT melalui ajaran agamanya telah membuka jalan kebenaran sangatlah luas. Mengapa jalan kebenaran dibuka luas? Karena untuk memberikan kebahagiaan dan keselamatan ciptaaNya yang mau berpikir.

Contoh kebenaran itu luas. Ketika seseorang melakukan pilihan hidup yang salah, pasti akan diperingatkan. Saat orang berbuat dosa, ia akan diampunkan setelah bertaubat. Dan lain-lain.

Sayangnya, tidak banyak dari kita yang memiliki keyakinan dan keberanian untuk mengakui kesalahan kemudian bertaubat. Sifat ragu dan takut ditinggal gemerlapnya dunia lah yang menyebabkan pilihan manusia tidak sejalan dengan apa yang sudah diajarkan. Ketika seseorang tersesat dari jalan kebenaran, padahal ruangnya sudah disediakan amat luas, sesungguhnya ia sangat keterlaluan.

Untuk mensikapi semua, bagaimana?

Caranya, jangan sesekali kita berpikir menjadi yang terbaik, karena menjadi yang terbaik itu sangat melelahkan. Akan ada banyak kemungkinan pesaing bisa lebih baik daripada kita. Emosi kita jadi terkuras. Lebih-lebih, kalau kita ingin menjadi yang terbaik pada jabatan, kekuasaan, harta dan kekayaan, lalu menghalalkan segala cara dalam mencapainya. Ini bisa menyesatkan.

Berusaha menjadi yang terbaik pada bidang agama tentu sangat baik. Tapi, jika tidak berhati-hati dalam memanage diri, bisa saja tertanam rasa sombong yang bisa merusak semua.

Lalu bagaimana?

Jangan jadikan diri kita terbaik tetapi jadikanlah diri kita itu satu-satunya. Ketika ingin menjadikan diri terbaik, maka kita harus bersaing dengan orang lain. Tetapi, saat pilihan kita adalah menjadi satu-satunya, maka kita tidak punya pesaing.

Pesaing yang sesungguhnya adalah diri kita sendiri. Ketika mampu mengalahkan ego diri, sesungguhnya kita telah menjadi satu-satunya pemenang. Meski orang lain bisa berbuat yang sama, bahkan lebih daripada kita, maka kita tidak mengurusi mereka.

Orang yang sudah selesai dengan dirinya sendiri akan memiliki kesadaran bahwa baik dan buruk, iman dan kafir, itu semua ada pada diri kita sendiri, dan bukan orang lain. Kalau pada orang lain melekat sifat buruk dan celaka, itu dikarenakan pilihan hidup mereka. Bukan karena kita.

Ketika seseorang bisa melakukan sesuatu dengan ahsani taqwim untuk menjadi satu-satunya dalam penghambaan kepada Tuhan, sesungguhnya dia telah menemukan tujuan hidupnya.

Wallahu a’lam bishawab

 

* Penulis lahir di Malang dan sekarang tinggal di Mojokerto, sambil berproses menyelesaikan karya buku ke lima.

 

Facebook Comments

Comments are closed.