Paradigma Beragama Bukan Sekadar Simbol

Oleh: Budi Winarto

mepnews.id – Nabi Muhammad diutus oleh Allah SWT untuk beberapa tujuan; salah satunya adalah menyempurnakan akhlaq. Bukan hanya yang beragama Islam, namun pemeluk agama lain juga akan merasakan dampak yang sama apabila mau menerapkan ajaran Nabi Muhammad terkait menyempurnakan akhlaq. Hal ini dikarenakan Beliau diutus untuk menjadi rahmat bagi semesta alam.

Hari-hari ini, banyak orang sudah dimabukkan oleh kedudukan, kekayaan dan kekuasaan, sehingga kemudian lupa akan siapa dirinya. Dampaknya, mereka jadi gampang melecehkan, meremehkan dan menghina orang  lain. Terlebih terhadap orang-orang yang memiliki strata lebih rendah darinya.

Ini bukan masalah orang yang tidak bisa memilih kosakata yang baik, tetapi perkataan yang keluar dari mulut seseorang itu telah dikendalikan oleh ketidakmampuannya dalam menjaga etika. Akibatnya, diksi yang disampaikan tidak memiliki ‘perasaan’. Biasanya ini terjadi karena perkataan yang mereka sampaikan telah dianggap biasa karena terbiasa. Pembiasaan ini tentu ada kaitannya dengan karakter pribadi orang tersebut.

Dalam Islam, kebebasan berkomunikasi, menyampaikan pendapat itu sebenarnya adalah hal wajar dan tidak dilarang. Dengan cara seperti itu, perbedaan pun bisa menjadi keberkahan karena value yang dihadirkan. Bukan sebaliknya. Nah, kunci dari komunikasi yang baik adalah dengan dialog; bukannya monolog.

Dialog akan bisa menjadikan seseorang lebih baik dalam menjalani kehidupan karena fungsi subtansialnya. Dialog, dalam kontek luas, bisa terbagi menjadi beberapa arti.

Semisal, berdialog untuk diri sendiri, dalam arti kontemplasi, bisa mengembalikan sebab-akibat dari dan atas apa yang sudah dan akan dilakukan, sehingga bisa membuat orang lebih berhati-hati, bisa menjadikan diri lebih bijak. Dialog dengan teks agama, dalam arti mempertajam pengertian ajaran agama melalui teks Al Qur’an dan hadist-hadist Nabi, akan menjadikan sumber rujukan yang benar dalam bersikap dan menjalani kehidupan untuk kemaslahatan dan kemanfaatan; bukannya malah tersesatkan. Atau, berdialog dengan alam semesta beserta isinya. Ini bisa dilakukan melalui pendalaman ilmu pengetahuan beserta logika-logikanya.

Semua itu bisa dikata sebagai cara berdialog agar peran agama bukan hanya sebagai simbol melainkan bisa menghadirkan subtansi karena value-nya.

Jadi, bisa dikata, dengan berdialog maka seseorang akan menemukan solusi terbaik dari setiap masalah yang dihadapi. Jika seseorang melakukan dialog dan berdasar kedalaman pengetahuan, dengan kekayaan ilmunya, itu akan semakin membuka fungsi dan peran agama untuk menyelesaikan berbagai persoalan yang ada. Dengan berdialog, orang akan menyambung hubungan timbal balik antara dua atau lebih dari percakapan yang diketahui.

Berbeda dengan monolog. Dalam monolog, kebenaran yang mereka pahami hanya berdasar dari diri atau komunitasnya sendiri. Mereka akan menganggap apa yang telah dikata, dilakukan dan dikerjakan itu bagian dari kebenaran. Mereka tidak mau berintropeksi dan tidak ingin tahu bahwa di luar dari monolognya itu ada kebenaran-kebenaran yang belum seutuhnya dipahami.

Muhammad Abid Al-Jabiri pernah menyampaikan konsep epistimologi Bayani, Irfani dan Burhani. Dengan ketiganya, seseorang bisa merekontruksi ulang cara berpikir.

Metode Bayani mengandung pengertian sederhana bahwa pemahaman ajaran agama hanya berdasar dogma atau pemahaman teks semata. Metodologi Irfani, mereka mengembangkan pemikiran bukan hanya berdasar teks, melainkan pengalaman spriritual mereka juga memepengaruhi hasil dari pemikirannya. Metode burhani yaitu pendekatan secara logika, rasional dan empiris (realita).

Mereka yang bisa berdialog dan berpikir dengan menggunakan tiga metode ini tentu akan memiliki pemahaman holistik atas apa dan bagaimana sesuatu itu harus ditempatkan. Hal ini karena mereka dalam merekontruksi pemikiran tidak hanya pararel atau berjalan sendiri-sendiri, melainkan ketiganya berjalan berkelindan dan mencari tali sintesa agar lebih fungsional.

Pemahaman mendalam atas ketiga metodologi tersebut sesunguhnya akan menjadikan seseorang bisa menjalankan fungsi agama dengan baik. Sebagaimana surat Al ‘Asr menjelaskan, “Demi masa. Sungguh manusia dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan serta saling menasehati untuk kebenaran dan saling menasihati untuk kesabaran.”

Dalam surat ini ditunjukkan bahwa seseorang akan sangat merugi apabila tidak bisa menggunakan masanya dengan bijak. Menggunakan masa itu bukan berarti harus menghabiskan waktu untuk selalu produktif, tetapi dalam berbuat apapun dan di manapun seyogyanya ada dalam konteks kebaikan, kebermanfaatan dan kemaslahatan khalayak.

Siapa orang yang bisa mengendalikan semua? Tentu orang yang bisa mempertaruhkan kebenaran agama dengan keimanan terbaiknya. Orang semacam ini memahami dengan sebenar-benarnya pemahaman bahwa agama hadir bukan sekadar simbol melainkan harus digali subtansi dari nilai ajarannya. Pemahaman seperti itu akan menjadikan seseorang terus memperbanyak amal sholih; dari perbuatannya, hartanya bahkan perkataanya. Mereka juga akan nasihat-menasihati dalam kebenaran dan kebaikan. Bukan yang ‘meresahkan.’

Kepatuhan menjalankan perintah agama dengan dialog yang baik akan menghasilkan kepatutan beretika karena penyadaran. Dengan begitu, tidaklah perlu seseorang harus memukul orang lain kemudian membawanya ke dokter spesialis atau rumah sakit. Atau melecehkan dan menghina orang lain dulu baru mau mengumrohkan, semisal.  Serta tidak harus menunggu sesuatu itu diviralkan, baru kebaikan itu ditunaikan.

Bagi yang menjalankan ajaran dengan subtansinya, mereka akan memiliki kesadaran bahwa satu kehidupan dari manusia itu sesungguhnya berhubungan dengan banyak hati.

Jika akalmu bisa mencegahmu dari hal yang tidak patut, maka engkau adalah orang yang berakal.

Wallahu’alam bishawabbi.

Facebook Comments

Comments are closed.