Mengenal Ide Janteloven yang Anti-flexing

Oleh: Esti D. Purwitasari

mepnews.id – Sambil scroll-scroll telepon selulernya, Mira tampak sewot. “Duh, kenapa sih anak-anak sekarang. Sukanya flexing melulu.

Saya tertawa kecil saja. “Emang, apa sih yang mereka pamerin?”

“Nih, lihat! Jam tangan mewah, liburan ke luar negeri, outfit dari kepala sampai kaki branded semua. Caption-nya wuih…, ‘Kerja keras, hasil nggak akan mengkhianati’. Kayak orang lain nggak tahu aslinya saja…?”

“Ya…ya.. Kita nggak tahu apa yang ada di balik layar. Bisa jadi itu utang. Atau malah cuma buat gaya-gayaan.”

“Tepat banget! Kenapa sih hidup harus jadi ajang pamer? Biasa-biasa saja kan enak?”

……………

Pembaca yang budiman, apakah Anda termasuk orang yang sudah muak terhadap flexing? Atau, biasa-biasa saja? Atau, justru Anda juga suka flexing? Sesekali flexing, oke lah. Kadang kita perlu sesekali memamerkan prestasi atau hasil usaha kita. Tapi, kalau berlebihan, bisa jadi itu masalah psikologis. Di sisi lain, orang lain bakal muak.

Terkait ini, saya jadi ingat budaya orang-orang Skandinavia yang disebut ‘janteloven‘. Penduduk di negara-negara Denmark, Norwegia, Finlandia, Swedia boleh dikata umumnya makmur, pendapatan per kapita tinggi, prestasinya mendunia, namun jarang yang sangat menonjol atau diketahui publik.

Mengapa demikian? Karena, umumnya mereka menerapkan janteloven. Ini seperangkat norma sosial tak tertulis yang menekankan kesetaraan, kerendahan hati, dan kolektivisme. Nilai-nilai tradisional Skandinavia ini mengutamakan komunitas di atas individualisme. Gak pakai pamer, gak pakai sombong.

Konon, konsep ini diperkenalkan Aksel Sandemose dalam novelnya En flyktning krysser sitt spor yang versi Inggris nya berjudul A Fugitive Crosses His Tracks (1933). Penulis Denmark-Norwegia menggambarkan Jante sebagai kota kecil fiktif di mana penduduknya mematuhi 10 aturan sosial, antara lain:

  • Jangan berpikir kamu istimewa.
  • Jangan berpikir kamu lebih hebat daripada orang lain.
  • Jangan berpikir kamu lebih pintar daripada orang lain.
  • Jangan membanggakan diri terlalu berlebihan.
  • Jangan berpikir kamu lebih penting daripada orang lain.

Secara umum, janteloven bertujuan menjaga keharmonisan sosial dan mencegah kesombongan atau ketidakadilan dalam masyarakat. Nah, ini tentu sangat bertentangan dengan flexing jika dinilai secara sosial-budaya. Bisa dikata, janteloven itu anti-flexing.

Janteloven menekankan kerendahan hati, kesederhanaan, dan kesetaraan, agar individu tidak menonjolkan diri secara berlebihan atau merasa lebih baik daripada orang lain. Flexing, yang populer di era modern terutama di media sosial, justru memamer-mamerkan kekayaan, pencapaian, atau gaya hidup untuk mendapatkan pengakuan atau perhatian.

Janteloven berakar pada budaya kolektivisme, di mana komunitas lebih penting daripada individu. Sikap rendah hati dianggap esensial untuk menjaga harmoni sosial. Flexing justru berakar pada budaya individualisme dan kompetisi. Menunjukkan keberhasilan dilihat sebagai simbol status atau validasi sosial.

Janteloven banyak terlihat dalam norma-norma sosial tradisional, terutama di komunitas kecil atau masyarakat yang menjunjung tinggi kesederhanaan. Flexing justru populer di platform media sosial seperti Instagram, TikTok, atau YouTube.

Janteloven mendorong kesetaraan tetapi kadang dibilang menghambat ekspresi diri, kreativitas, atau ambisi. Flexing memberikan kesempatan untuk mengekspresikan diri tetapi dapat memicu kecemburuan sosial, perbandingan tidak sehat, atau tekanan irrasional untuk tampil lebih baik.

Nah, kita lebih suka yang mana? Janteloven atau flexing?

Facebook Comments

Comments are closed.