Oleh: Budi Winarto
mepnews.id – Beberapa pekan terakhir elit penguasa dan presiden terpilih menyeleksi orang-orang yang akan membantunya untuk mensejahterakan rakyat sesuai visi misi yang dijanjikan. Para ‘pembantu elit’ itu digali komitmennya, diukur kemampuannya serta disesuaikan dengan segala kepentingan untuk mencapai kata ‘mufakat politik.’ Yang diundang dan dikumpulkan dari kalangan politikus, profesional maupun organisasi kemasyarakatan serta kalangan lain. Melalui pakta integritas, mereka diikat agar berkomitmen bisa melaksanakan tugas yang akan diemban dengan sebaik-baiknya. Diharap, dengan semua apa yang diikhtiarkan akan menjadi preseden awal yang baik untuk mengawal program yang nantinya akan dilaksanakan sesuai bidangnya masing-masing.
Bhineka Tunggal Ika sebagai Titik Temu
Meskipun dalam pemilihannya tentu tidak lepas dari kepentingan, semoga semua kepentingan-kepetingan itu bisa dirajut dengan baik sebagaimana Bhineka Tunggal Ika yang bisa menyatukan segala perbedaan yang ada untuk kemudian menjadi satu kekuatan, tidak bercerai berai.
Bhineka Tunggal Ika sebagai semboyan Negara, bisa menjadi cerminan bagi para elit penguasa. Meskipun mereka datang dengan latar belakang berbeda, kepentingan politik yang berbeda-beda serta keahlian dan keilmuan yang berbeda pula tetapi memiliki semangat satu untuk mensejahterakan rakyat Indonesia. Dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas sampai Pulau Rote.
Falsafah kebhiekaan itulah yang seharusnya dipegang erat oleh penguasa yang kebetulan hari ini diberikan amanah untuk mensejahterakan rakyatnya sesuai dengan bidang yang diemban. Dengan kebhinekaan sebagai pedoman, mereka akan menyadari bahwa apa yang menjadi kebijakan nantinya harus bisa mejangkau seluruh kalangan dan bukan golongan tertentu. Memenuhi kesejahteraan dari keberagaman penduduk, dan bukan keluarganya sendiri. Mengayomi kepentingan umum dan bukan pribadi. Serta menjadi juru adil yang baik dan bukan berpilih kasih.
Sebagaimana masyarakat yang lahir di negara bernama Indonesai, dengan daging, tulang serta darah hasil dari memakan tanaman di bumi Indonesia, dan tidak menutup kemungkinan dimakamkan di tanah ibu pertiwi yang bernama Indonesia, tentu tidak asing dengan kalimat yang dicengkram burung Garuda di kakinya. Apalagi para elit penguasa atau orang-orang di lingkaran kekuasaan pemerintahan. Pasti mereka lebih mengetahui dari pada orang awam.
Tetapi apakah mereka yang mengetahui lalu bisa memahami akan apa makna Bhineka Tunggal Ika? Bagaimana keberagaman yang bersatu, persatuan dalam perbedaan, kekayaan budaya dan keunikannya?
Mungkin masih banyak lagi subtansi yang dibawa dari kalimat Bhineka Tunggal Ika tersebut. Tentunya itu memerlukan kesadaran bagi setiap individu yang ingin menerapkan makna Bhineka Tungga Ika secara utuh. Tidak hanya dibaca, namun dihayati. Tidak hanya dihayati, namun diimplementasi dari gerak, perbuatan serta kebijakan yang nantinya dibuat.
Ketika seorang pemimpin mampu menghayati dan mengimplementasikan Bhineka Tunggal Ika secara utuh dalam kehidupannya, maka dengan sendirinya mereka sejatinya telah berada pada posisi penyadaran bahwa mereka dilahirkan dari perbedaan untuk saling melengkapi dan menyempurnakan. Mereka akan mencari titik temu di mana perbedanan itu akan membawa maslahat dan bukan mudhorot. Serta mereka akan menginisiasi gerakan kemaslahatan umat dari kepentingan yang berbeda-beda untuk kemudian menjadikannya kemanfaatan dan kemaslahatan seluruh rakyatnya.
Toleransi sebagai Modal Komitmen
Tentang Bhineka Tungal Ika, sebenarnya ada makna tersembunyi dari kalimat itu. Makna yang menjadi ruh Bhineka Tunggal Ika adalah toleransi. Dengan toleransi yang terkandung di dalamnya, Bhineka Tunggal Ika memiliki kekuatan yang bisa menyatukan perbedaan. Toleransi ternyata membawa peran penting dalam kebhinekaan yang dibangun. Dengan adanya toleransi tentu keberagaman atas suku, agama, ras dan budaya bangsa tetap menjadi satu yang bisa dipersatukan.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), ‘toleransi’ memiliki pengertian ‘sifat atau sikap toleran’. Makna dari ‘toleran’ adalah ‘bersifat atau bersikap menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan) pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan,dan sebagainya) yang berbeda atau bertentangan dengan pendirian sendiri’.
Dengan pengertian tersebut, pemimpin yang toleran tentu akan memiliki tingkat adaptasi dan kepekaan yang tinggi atas perbedaan lingkungan sekitar. Tenggang rasa yang melebur bersama pemikiran, sikap dan perbuatannya akan bisa menyelami setiap nilai yang terdalam dari sebuah peristiwa dan bukan hanya yang tampak dipermukaan.
Pemimpin yang memahami toleransi secara utuh akan bisa menumbuhkan demokrasi yang sesungguhnya di Negara ini. Pemimpin yang toleran akan menjadikan setiap apa dan bagaimana sebuah peristiwa dikaji dari nilainya. Dari pengkajian nilai tersebut kemudian akan melahirkan respek kepada sesama, alam beserta sumberdayanya dan juga amanah dalam mengemban pekerjaannya.
Pemimpin yang memiliki hak untuk mengeluarkan kebijakan tentu tidak akan sembrono dalam menguras kekayaan alam, ‘menindas’ sesama atas nama rakyat untuk kepentingan diri, keluarga atau golongannya. Pemimpin yang toleran tentu akan menjadikan rakyat sengsara menjadi bahagia, masyarakat miskin bisa sejahtera, karena dari keadilan sosial sesungguhnya untuk seluruh rakyatnya. Itu semata bisa disebabkan; salah satunya dari pemahaman toleransi sebagai dasar pijaknya.
Singkat kata toleransi dalam arti luas tentu tidak hanya berkaitan dengan agama yang selama ini kita maknai. Namun lebih dari itu, berpolitik, bersosial, dan berbudaya juga harus menjadi perhatian bagi para pemimpin yang memiliki ‘toleransi.’
Berikuitnya yang terus ditunggu oleh masyarakat, apakah pilihan-pihan ‘orang terbaik itu akan bisa mensuguhkan janji politik untuk mensejahterakan rakyatnya, atau itu hanya sekedar bagi-bagi kekuasaan untuk kesejahteraan kepentingan mereka. Ini yang perlu kita tunggu.
Wallahu A’lam Bishawab