Oleh: Esti D. Purwitasari
mepnews.id – “Entah apa yang terjadi dengan Dika. Tiba-tiba dia jadi aneh, Mbak,” begitu curhatan seorang mama tentang anak remajanya.
“Lho, kenapa? Ada apa sama Dika?” saya mencoba mencari tahu.
“Begini lho, Mbak. Belakangan ini Dika sering marah-marah kalau ada suara kecil di rumah. Bagi kami, suara itu wajar dan biasa aja. Tapi bikin dia stres. Misalnya, waktu makan bareng, Dika langsung bete mendengar suara kami mengunyah. Suara tetesan air dari kran di kamar mandi juga bisa bikin dia ngamuk.”
“Dika ngomong apa sih kalau sedang kesel?”
“Dia bilang suara-suara itu bikin dia gak nyaman. Lha, saya terus bagaimana? Tidak mengunyah?”
……………
Pembaca yang budiman, curhat ini berlangsung terlalu panjang untuk saya sampaikan di ruang sempit ini. Maka, saya lebih pilih berbagi pada Anda tentang gangguan misophonia yang dialami Dika.
Misophonia adalah kondisi saat seseorang mengalami reaksi emosional sangat kuat dan negatif (misalnya; marah, cemas, atau benci) terhadap suara-suara tertentu. Suara-suara itu sering kali dianggap biasa oleh kebanyakan orang, tapi tidak buat si penderita misophonia. Reaksinya bisa sangat intens dan mempengaruhi kehidupan sehari-hari. Jika kambuh, penderita bisa stres atau melakukan isolasi sosial untuk menghindari situasi pemicu suara tertentu.
Terus, bagaimana orang tua membantu anak nya yang kena misophonia?
Para pakar masih mencari tahu penyebab masalah ini. Ada yang menduga, ini karena otak memproses sinyal suara dengan cara berbeda. Ada juga teori tentang trauma pengalaman masa kecil. Bisa juga karena faktor genetik. Bisa juga karena gangguan regulasi emosi atau gangguan sensori lainnya. Karena penyebabnya belum bisa dipastikan, metode terapinya juga belum baku.
Misophonia bisa muncul dan menghilang seiring waktu. Namun, ada pula yang muncul dan tetap pada tingkat tinggi hingga beberapa waktu. Tentu, ini jadi berat bagi penderita dan bisa membebani orang tua dan orang-orang terdekatnya. Lebih-lebih, usia remaja sedang mengalami perubahan hormonal yang bahkan tanpa misophonia pun mereka bisa stress.
Maka, orang tua bisa mengakomodasi anak remajanya yang punya gangguan misophonia. Misalnya dengan cara; memahami kondisi dan mengedukasi diri tentang misophonia, berdiskusi secara erbuka dengan anak yang kena misophonia, menciptakan lingkungan nyaman dengan meminimalisir suara-suara tertentu, menggunakan alat bantu earphone atau headphone noise-cancelling.
Penelitian pada 2019 oleh Porcaro et al. menunjukkan akomodasi misophonia bermanfaat dalam lingkungan universitas. Tidak ada masalah dan tidak ada kerugian dalam akomodasi untuk misophonia dalam pekerjaannya dengan populasi usia kuliah. Kalau di rumah, akomodasi ini harus berimbang antara menenangkan anak dalam lingkungan keluarga dengan menyiapkan dalam tantangan sosial lebig besar.
POST A COMMENT.