Masihkah Kita Terperdaya oleh Tipuan Dunia?

Oleh: Budi Winarto

mepnews.id – “Janganlah engkau terkecoh dengan gemerlapnya dunia, tetapi jangan juga engkau terlalu meninggalkannya sebelum waktumu tiba.” Secuil kutipan ini sengaja saya buat sebagai alarm diri akan dunia yang sesungguhnya fana dan penuh fatamorgana.

Di ujung surat Ali Imran ayat 185 berbunyi, “Wa mal Ayatuddunya Illa Mata’ul-Ghurur” yang artinya, “Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan.”

Kita mugkin sering mendengar ayat di atas disampaikan para ustadz di surau-surau, mushola kecil, masjid kampung. Tak jarang para da’i berceramah mengangkat surat dari ayat ini. Mereka mendakwahkannya dari pelosok desa ke pelosok desa lainnya. Dari majlis satu ke majlis lainnya. Tujuannya agar jangan sampai umat muslim tertipu dengan dunia yang hanya sebentar.

Ayat ini mengandung nasihat yang berdampak luar biasa bagi kehati-hatian dalam proses menjalani kehidupan. Apabila ayat ini bisa meresap ke relung hati setiap manusia yang membaca atau yang mendengarnya, maka ketenangan dan kemaslahatan akan lebih bisa dirasakan.

Jangan lah ayat-ayat seperti ini hanya disampaikan kepada masyarakat kecil, yang pekerjaannya hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan, namun kemudian harus ditakuti rasa yang begitu luar biasa akan tipu dunia. Padahal, uang yang mereka dapatkan itu bukan hasil mencuri atau korupsi melainkan dari pekerjaan dan keringat sendiri. Sementara, sebagian pejabat serakah dengan antusiasnya menipu diri dengan mendapatkan tipuan dunia itu, bahkan dengan menghalalkan cara-cara yang sejatinya haram.

Oleh karena dahsyatnya ayat ini, harus disampaikan agar bisa menjadi alarm bagi pejabat instansi pemerintahan dari tingkat desa sampai pusat, bahkan pada lembaga tinggi negara, agar para pejabat mengenal dan mengilhami subtansi akan ayat ini. Setidaknya, dengan merenungkan ayat ini, para pejabat yang memegang kekuasaan akan berusaha menghindari tipu daya dunia. Mereka akan mendapatkan harta yang baik dan mengeluarkannya dengan cara yang baik pula. Secukupnya. Mereka akan mencukupkan kehidupannya sesuai kebutuhan, dan bukan keinginan.

Ayat ini juga bisa sebagai bahan intropeksi diri. Kita bekerja untuk mengumpulkan harta. Setelah harta terkumpul, apakah bisa menjamin kita bahagia dengannya? Kita memilki istri atau suami yang ideal. Apakah dengan semua kelebihan dari pasangan kita mereka mau sehidup semati dengan kita? Pun dengan anak-anak kita, saudara-saudara kita, atau siapa saja yang kita anggap istimewa.

Dunia ini bukanlah tempat tinggal melainkan tempat yang akan kita tinggalkan. Oleh karenanya, janganlah kita berfokus dan disibukkan oleh kerumitan dunia kemudian melupakan tujuan hidup yang sebenarnya.

Hidup dibaratkan sebuah perjalanan. Ketika lelah, kita beristirahat dan minum secukupnya. Tidaklah lama. Hanya sebantas ‘mampir ngombe.’ Sekejap, karena selanjutya kita melakukan perjalanan sangat panjang ke tempat yang sudah dijanjikan

Mari kita renungkan. Apakah semua yang sekarang kita miliki akan setia bersama kita untuk selamanya? Saat di dunia kita memiliki harta berlebih dan pasangan ideal, mungkin saja bisa kita banggakan. Tetapi, ketika kita meninggal, apakah harta dan pasangan kita masih berguna?

Harta yang kita kumpulkan dengan bekerja tanpa mengenal waktu itu tidak akan kita bawa saat meninggal. Mereka akan tinggal bersama orang-orang yang masih hidup di sekitar kita. Ketika kita meninggal, hanya beberapa lapis kain putih yang jadi harta yang membersamai kita. Selebihnya harta menjadi warisan keluarga atau entah ke mana.

Istri atau suami serta anak-anak kita pun sama. Mereka hanya bisa membersamai kita sampai liang lahat. Selanjutnya, ketika jasad kita terkubur, mereka kembali ke rumah dengan kesedihan yang mendalam. Satu, dua hari, mereka merasa kehilangan, teringat perjuangan membina rumah tangga, kesetiaan, kerja keras dan lain-lain. Setelah hari makin banyak berganti, bulan pun berlalu, berlalu pula kenangan-kenangan itu karena mereka masih memiliki cerita kehidupan lain yang harus mereka jalani. Kita yang meninggal akan lama-lama terlupakan dengan sendirinya.

Hanya ada satu yang tidak pergi dan meninggalkan kita saat kita tiada lagi di dunia. Ia adalah ketaqwaan.

Saat kita bekerja keras mengumpulkan harta dengan berhias taqwa, maka itu adalah bagian dari ibadah yang bisa menjadikan amal baik kita. Sebagian dari harta yang kita miliki juga bisa menemani kita karena sudah dizakatkan dan disedekahkan.

Ketika kita membina keluarga diiringi taqwa, maka istri kita, terutama anak-anak kita, menjadi sholih dan/atau sholihah yang mampu mendoakan kita ketika tiada. Mereka akan menjadi aset pahala yang akan terus mengalir ke diri kita di alam kubur ila yaumil kiyamah.

Kita akan mewarisi kebaikan yang kita tanamkan kepada mereka yang masih hidup dengan amal jariyah dari doa serta kebaikan mereka.

Jadi, boleh dikata, taqwa kita lah yang akan menjadi modal untuk menyelamatkan diri kita semasa di dunia dan terutama kelak di akhirat. Menjadi orang bertaqwa adalah tujuan kita. Dengan menjadikan diri bertaqwa, keluarga bertaqwa, maka apa pun yang kita cari baik itu berupa harta, jabatan atau apa pun, akan menjadikan sumber keyakinan untuk mencapai keselamatan dan kebahagiaan dunia dan akhiratnya.

Wallahu’alam bishawab.

Facebook Comments

POST A COMMENT.