Refleksi Diri di Kampung Inggris Pare Kediri

Oleh: Madihah  

mepnews.idBeberapa bulan lulus kuliah, saya pergi ke Kampung Inggris di Desa Tulungrejo, Kecamatan Pare, Kediri. Berangkat dengan kekhawatiran apakah saya mampu menaklukkan diri untuk menguasai bahasa Inggris. Bukan rahasia lagi, bahasa Inggris adalah bahasa internasional, dengan 1,27 miliar penutur di dunia. Fakta ini membuat saya semakin menyadari pentingnya menguasai keterampilan speaking, reading, listening, dan writing yang akan berguna di kemudian hari.

Setelah terjun di kampung itu kurang lebih tiga tahun, kesadaran saya kian terpupuk saat dihadapkan dengan banyak hal yang melampaui ekspektasi awal saya. Kampung Inggris itu layaknya teman yang mendampingi dan memotivasi saya agar giat belajar, sekaligus menemani saya menjelajahi banyak hal tentang desa wisata edukasi tersebut.

Seperti desa pada umumnya, ia terdiri dari rumah-rumah warga, sungai, jalanan kecil, gang-gang yang tak begitu lebar, serta sawah-sawah yang bisa dijangkau dalam waktu sekitar lima menit. Namun, yang membedakannya adalah ia diramaikan oleh tempat-tempat yang memenuhi kebutuhan para pelajar dari berbagai penjuru Indonesia.

Pertama, lembaga kursus yang menjadi tujuan utama para pelajar datang. Ada sedikitnya 129 lembaga, dan jumlahnya bervariasi dari tahun ke tahun, di ruang tamu rumah-rumah warga. Rumah yang disulap menjadi kelas, lengkap dengan papan tulis dan meja namun dengan suasana lesehan. Ada juga lembaga di gedung khusus yang desainnya menyerupai sekolah. Ruang kelas tidak selalu seperti ruang kelas pada umumnya. Kami sering melaksanakan kelas di kafe atau di ruangan terbuka. Sesi speaking sering diadakan di tempat-tempat ramai, termasuk di perempatan jalan atau lapangan.

Kedua, program belajar yang rata-rata minimal dua minggu membuat ruang kelas tidak bisa menjadi tempat untuk dihuni seharian penuh. Oleh karena itu, muncul asrama dan kos sebagai tempat tinggal. Ada yang lokasinya sudah ditentukan dalam paket program, ada juga pelajar yang memilih sendiri di mana mereka berhuni.

Ketiga, amunisi harian yang penting sebagai sumber energi beraktivitas. Di sela-sela rumah dan tempat kursus, terdapat toko-toko kecil yang menjual makanan ringan dan kebutuhan harian. Ada warung makan dengan beragam menu dan harga, mulai level warteg dan angkringan hingga kafe.

Ada satu tempat ikonik di mana pedagang kaki lima menawarkan jajanan seperti telur gulung, pentol, siomay, batagor, cimol, es teh, jus, degan, dan lain-lain, khususnya pada sore hingga malam hari. Tempat bernama Pasar Senja di Lapangan Tulungrejo itu selalu diramaikan pelajar yang ingin menghabiskan sore bersama teman. Mereka juga sering melihat pertandingan sepak bola, sambil harus hati-hati agar tidak terkena bola liar.

Saya memilih duduk di atas rumput di lapangan yang sudah dilengkapi jogging track sejak 2023 itu. Lapangan ini juga menjelma menjadi media menuntaskan tugas dari tutor untuk melakukan percakapan singkat berbahasa Inggris dengan orang asing. Bagi saya, hal menarik lainnya ialah angin semilir dan perbincangan hangat bersama teman. Pantulan cahaya matahari membentuk gradasi warna oranye yang bertabrakan dengan warna ungu saat sisi langit terlihat biru dengan awan putih bersih saat saya menengadah.

Keempat, Kampung Inggris menawarkan akses hiburan yang mudah dijangkau bagi perantau. Ada tempat berenang, Car Free Day, pasar tradisional dan tempat belanja di pusat kota namun masih dalam jangkauan tiga kilometer, stadion yang sering berfungsi sebagai tempat jogging. Selain itu, terdapat situs bersejarah seperti Candi Tegowangi, Candi Surowono, serta wisata lain yang bisa ditempuh dengan bersepeda.

Desa ini juga tidak pernah berhenti membangun hal baru. Misalnya, usaha kuliner, studio foto, tempat kursus, dan beragam lainnya yang berpotensi menguntungkan banyak pihak. Karena suasananya yang tidak seramai kota besar, banyak pelajar tertarik menyewa sepeda untuk kegiatan harian, atau menyewa motor dan mobil untuk jalan-jalan akhir pekan. Mereka siap membayar fasilitas kursus, tempat tinggal, dan berbagai penyewaan karena pengalaman tersebut tidak akan tersedia saat mereka pulang untuk entah melanjutkan kerja, kuliah, atau aktivitas lainnya.

Saya selalu takjub melihat banyaknya orang yang memenuhi jalanan dengan berjalan kaki dan bersepeda sewaan. Saya juga sering bersepeda tanpa tujuan namun merasa tenteram melihat suasana sekitar. Rasanya seperti berada di tengah cahaya kota malam hari, namun dalam versi mini yakni gemerlap desa. Mungkin, jika dilihat dari kejauhan, dari arah langit atau melalui pandangan drone, kami akan terlihat seperti titik-titik kecil yang berpendar, berkelip, dan hidup.

Kekhawatiran juga muncul saat dalam keramaian di Jalan Brawijaya, jalan utama di Kampung Inggris. Jalan itu tampak dipadati mobil, motor, bus, dan truk yang harus berbagi ruang dengan para pejalan kaki dan pesepeda. Di pertigaan atau perempatan gang yang ramai, sering kali pesepeda bertemu motor atau mobil di sudut yang sama. Bahkan, jika ada dua mobil datang dari arah berlawanan, mobilitas menjadi terhambat.

Tempat Refleksi Pare Jahat

Kampung Inggris bukan hanya teman bagi perantau, tetapi juga ajang pencarian jati diri. Setelah lulus sarjana, saya sempat terjebak dalam ketidakpastian akan masa depan. Namun, saya tidak ingin hanya diam. Ada banyak pilihan tersedia, dan Kampung Inggris adalah salah satu tempat pelarian. Bukannya untuk menghilang dan lari dari kebimbangan, melainkan tempat yang justru membantu saya memahami diri lebih dalam.

Awalnya, saya berangkat dengan dengan niat sederhana ingin bisa berbahasa Inggris. Akhirnya, saya menemukan minat untuk terus belajar sambil mengajar. Sebagai pengajar, saya terpaksa mengasah kepercayaan diri. Ya, harus meningkat perlahan-lahan. Dari yang semula merasa tidak percaya diri, saya kemudian bisa menikmati peran memimpin kelas di depan para pelajar.

Pengalaman itu berawal dari peranan saya sebagai murid selama kurang lebih satu tahun. Kemudian, peran berlanjut menjadi guru yang membuat fokus saya lebih banyak pada pengajaran di asrama dan ruang kelas. Tempat itulah yang sehari-hari mempertemukan saya dengan para pelajar yang awalnya saling asing hingga bisa berubah layaknya sebuah keluarga. Semua itu berkat muara yang mengarah pada satu haluan, yakni belajar Bahasa Inggris. Interaksi terjalin melalui ruang-ruang kelas dan berbagai pertemuan, seperti kerja kelompok, pergi ke lapangan, bersepeda, ke kota, pantai dan seterusnya, sampai terurai juga masalah yang meluncur mulus melalui mulut mereka dari berbagai kerisauan di kepala.

Kerisauan yang paling sering mereka sebut adalah kesulitan berbahasa Inggris saat mereka masih di level dasar. Mereka tinggal di asrama– yang biasanya disebut camp– dan dipaksa menghidupkan English Area. Ini mengharuskan mereka berkomunikasi dalam Bahasa Inggris selama 24 jam. Tantu, hal ini memerlukan sikap dan hati yang siap, karena kesempatan belajar dan singgah di sana terbatas sesuai program yang mereka ikuti. Maka, satu-satunya yang bisa mereka lakukan dengan serius adalah mengikuti kelas sebanyak mungkin sesuai kapasitas, mencatat materi dengan cermat, dan berkomitmen mempelajari ulang setelah mereka sudah tidak berada di Kampung Inggris.

Lalu, kenapa tidak belajar secara online saja? Tentu ada perbedaan antara online dengan perjumpaan langsung. Di sana, lingkungan yang mendukung sangat penting sebagai pemicu untuk saling memotivasi dan mengingatkan. Pembelajaran online memang memiliki keunggulan, seperti biaya yang lebih efisien, fleksibilitas waktu, dan kenyamanan. Namun, pembelajaran tatap muka lebih unggul dalam hal interaksi sosial, kepuasan, serta keberadaan fisik yang mengantarkan para pelajar memiliki banyak pengalaman. Hingga akhirnya interaksi sosial secara langsung menciptakan momen-momen yang mengantarkan pelajar mengenal istilah ‘Pare Jahat’ yang sering tersebar dari mulut ke mulut.

Semua ini berawal dari keterikatan pelajar yang terjalin cepat, seperti sedang bertemu di terminal bus. Ada yang bilang ingin melanjutkan studi tetapi harus belajar dulu sebelum tes resmi Bahasa Inggris, ada pula yang tidak diterima di PTN dan memilih gap year, bahkan ada yang menjeda waktu masuk SMA selama satu tahun, atau dosen-dosen yang sengaja menyisihkan waktu sekitar 2-3 bulan, serta mereka yang hanya ingin menghabiskan liburan singkat selama dua minggu.

Sebagai pengajar, saya tidak bisa menahan mereka lebih lama. Saya dampingi mereka hingga melihat lambaian tangan dari atas motor atau jendela mobil sebagai akhir kisah pencarian jati diri mereka. Lalu datanglah hujan dari pipi-pipi mereka saat melepas ikatan singkat yang sudah terbentuk namun akhirnya harus dipisahkan. Dari sini istilah ‘Pare Jahat’ dirasakan; mereka harus menghadapi rasa sakit karena perpisahan, dan memahami bahwa konsep “people come and go” adalah bagian dari kehidupan yang terus berulang.

‘Pare Jahat’ akan kekal di ingatan setiap perantau. Bukan hanya karena keterikatan pertemanan, tetapi juga kenangan pengalaman-pengalaman lain. Misalnya, yang sering disebutkan para pelajar dalam sesi farewell party, adalah pergi ke Pare merupakan kali pertama mereka merantau jauh dari rumah, atau Pare adalah tempat menumbuhkan kebiasaan-kebiasaan baru seperti mencuci pakaian sendiri (meski kadang masih mengandalkan jasa laundry), menyetrika, membersihkan camp sesuai jadwal piket, bangun dini hari untuk kelas pagi, serta membagi waktu antara belajar dan bermain yang semua itu terangkum menuju kemandirian.

Pada taraf yang lebih jauh, banyak pelajar menemukan ruang untuk menetap di pekerjaan selanjutnya, melanjutkan kuliah di dalam atau luar negeri setelah merasakan manfaat dari Bahasa Inggris yang awalnya mereka keluhkan, menjadi terampil berkomunikasi di depan orang banyak dengan berbagai latar belakang, menonton film berbahasa Inggris dengan subtitle Bahasa Inggris, dan meraih hal-hal baik lainnya. Dengan demikian, pengalaman di Kampung Inggris bisa mendatangkan peluang lebih lebar. Sungguh, Pare menyajikannya bagi semua orang yang sedang menjeda arah langkah selanjutnya.

Tiket Sekali Seumur Hidup

Jika Kampung Inggris adalah manusia, saya bisa menyebut satu kata yang mewakili sifatnya: ramah. Sayangnya, keramahannya belum mampu menjangkau lebih banyak orang yang ingin ke sana. Informasi yang tersedia masih belum bisa dicari secara mudah dan cepat, dan akan berpotensi kehilangan pembeli tiket ke sana.

Mungkin ada yang berpikir, “Bukankah dari internet sudah cukup, ya?” Faktanya, orang-orang yang sering saya jumpai di sana ada beragam kategori. Ada yang tahu informasi dari teman, saudara, rombongan sekolah, lalu mereka berangkat karena sudah ada pihak yang dapat dipercaya dan diperkuat oleh testimoni orang-orang sebelumnya. Meski cara ini cukup membantu, namun akses semacam itu belum bisa menjangkau lebih luas lagi.

Suatu ketika, salah satu murid saya pulang dari rombongan sekolahnya dan memutuskan mengambil kelas online. Ia mengirim pesan kepada saya, “Loh, saya kira Kampung Inggris itu cuma satu, kenapa saya merasa bukan di tempat kita dulu, Miss?” Ketikan dia sangat jelas bernada heran. Hal semacam ini bukan hanya pengakuan satu orang. Banyak orang yang berhasil ke Kampung Inggris pun mengaku awalnya mengira bahwa di Pare hanya ada satu lembaga, karena semua informasi di internet menggunakan istilah ‘Kampung Inggris’.

Tentu saja, saya sering sibuk menjelaskan bahwa lembaga kursus di Kampung Inggris itu beragam. Bahkan, tidak hanya Bahasa Inggris, tetapi juga bahasa-bahasa lainnya. Kampung Inggris dinamakan demikian karena sejarah awalnya berfokus pada pembelajaran Bahasa Inggris.

Didorong rasa penasaran, saya akhirnya berselancar di mesin pencari. Namun, daftar ratusan kursus beserta deskripsinya tidak bisa saya temukan hanya dengan satu kata kunci. Saya harus mengganti kata kunci berkali-kali hingga muncul daftar nama lembaga yang masih mengharuskan saya untuk menelaah satu persatu. Jadi, tiket menuju Kampung Inggris ternyata tidak mudah dijangkau oleh kategori ini. Sebagai tambahannya, saya dulu juga mendapatkan informasi tentang lembaga kursus dari seorang teman yang membagikannya di salah satu grup WhatsApp.

Bagi mereka yang pantang menyerah, tentu akan mengerahkan tenaga untuk riset, bertanya, dan menimbang sebelum pergi ke Kampung Inggris. Sebenarnya, ada Forum Kampung Bahasa (FKB) sebagai pengelola resmi Kampung Inggris. Tetapi, sampai Juli 2024, situs website-nya masih minim informasi. Jadi, tiket terbaik menuju Pare masih dipegang oleh jurus ‘dari mulut ke mulut’, testimoni yang berserakan di dunia maya, serta tekat dan niat untuk mencari lembaga kursus.

Tidak berhenti sampai di situ, membeli tiket ke Kampung Inggris juga tidak bisa dipukul rata dalam harga ‘murah’. Ada banyak teman yang menganggapnya mahal, sementara yang lain dengan mudahnya menambah durasi tinggal di sana. Lebih detailnya, tiket tersebut memang tersedia untuk berbagai program. Dari program reguler dengan tarif yang sudah ditetapkan masing-masing lembaga, hingga ada juga yang menyediakan beasiswa untuk belajar atau training.

Selain itu, keputusan untuk pergi ke sana bergantung pada banyak pertimbangan, terutama karena latar belakang pelajar yang berbeda-beda. Bahkan, salah satu guru saya pernah bercerita bahwa ia rela menjual satu motornya demi bisa pergi ke Kampung Inggris. Sekarang, ia telah menjadi guru grammar yang banyak diminati pelajar. 

Pada akhirnya, semua tergantung pada pilihan dan kesempatan masing-masing pelajar. Meski Kampung Inggris terbuka untuk semua orang, namun tak semua bisa masuk. Sering kali saya berdiskusi dengan mereka yang ingin ke sana tetapi terhalang oleh kewajiban yang mendesak, seperti sekolah yang sudah mulai, kuliah, atau pekerjaan yang tidak bisa ditinggal. Akibatnya, tiket bagi kategori ini hanya menjadi harapan yang muncul dalam mimpi belaka.

Namun demikian, menurut saya pengalaman ke sana layak diperjuangkan demi tiket dengan fasilitas kursus yang beragam. Jika tinggal di asrama, mereka akan ditempatkan bersama pelajar dari berbagai jenjang usia dan mendapatkan kelas tambahan. Jika memilih kos, maka mereka lebih leluasa membagi waktu dan memilih program dari beragam lembaga.

Program yang ditawarkan pun bermacam-macam. Mulai dari program bagi pelajar yang masih di level dasar, paket liburan yang hanya berlangsung dua minggu, kelas khusus bagi mereka yang fokus pada percakapan sehari-hari, program satuan seperti grammar, vocabulary, pronunciation, listening, reading, speaking, writing, persiapan kerja di kapal pesiar atau perhotelan, hingga program khusus untuk persiapan TOEFL dan IELTS sebelum kuliah atau bekerja.

Setelah sampai di sana, banyak pelajar sudah memiliki ekspektasi terkait label Kampung Inggris. Mereka mengira semua orang di sana akan berkomunikasi dengan Bahasa Inggris. Realitanya, memang belum sepenuhnya terwujud, meskipun sudah banyak yang mempraktikkannya. Sejalan dengan hal itu, FKB mengadakan program Kampung Inggris Mengajar (KIM) yang memberikan pengajaran gratis bagi masyarakat umum, terutama warga desa Tulungrejo dan Pelem dan pelaku usaha, dengan harapan agar jumlah penutur Bahasa Inggris aktif semakin meningkat.

Terakhir, tiket itu bisa menjadi berharga atau biasa saja, tergantung dari beragam pengalaman yang memenuhi sanubari para pelajar. Bagi saya, Kampung Inggris adalah tempat istimewa. Saya menyaksikan bagaimana banyak orang datang dengan harapan saat pulang menjadi versi diri mereka yang baru; begitu pula dengan saya.

Layaknya wisata pada umumnya, ada saatnya saya meninggalkan tempat itu. Rasa sedih memang akan timbul sesudah melangkah keluar dari Pare, mengingat jejak pertama yang ditempuh dengan modal nekat, perasaan terasing di tempat yang jauh dari rumah, serta pengalaman menjalani hari-hari dengan tekanan belajar dan mengerjakan tugas. Semua itu lengkap juga dengan kenangan manis. Lambat laun akan muncul kerinduan yang melekat pada asrama, jalanan, tempat-tempat yang pernah dikunjungi, serta teman-teman dengan segala ceritanya. Jika kemarin rasa sedih datang karena perpisahan dengan orang-orang yang akan beranjak pergi, lalu menerima orang baru untuk berpisah di kemudian hari, begitu saja berulang-ulang kali, saya, pada akhirnya merasakan gilirannya.

Langkah saya harus berpindah, dan yang tersisa hanyalah kenangan yang begitu mahal seperti pemata tersembunyi, yang tidak akan bisa ditemukan di tempat lain yang serupa. 

 

  • Penulis adalah salah satu pengajar di salah satu lembaga kursus Bahasa Inggris di Pare.
  • Tulisan ini salah satu finalis kompetisi esai Inkubator Literasi Pustaka Nasional (ILPN) 2024 dengan tema ‘Ragam Pesona Jawa Timur’.

Facebook Comments

Comments are closed.