Menghidupkan Mahbub

Oleh: Dendy Wahyu Anugrah*

mepnews.id

Sudah menjadi konsekuensi di Indonesia bahwa regenerasi kepemimpinan harus dilakukan karena tanah air kita menggunakan sistem demokrasi. Setiap lima tahun, kita merayakan kontestasi politik yang menjadi kewajiban bagi setiap warga negara untuk menentukan pilihan guna memberikan amanah kepada calon pemimpin yang menurut mereka sesuai standarisasi umum; kapabilitas dan integritas. Tanpa digaungkan pun, standarisasi tersebut sudah dipahami masyarakat akar rumput. Tentu, dengan perspektif yang beragam.

Masyarakat yang terus berikhtiar menentukan pilihan tepat, perlu kajian mendalam dan proporsional sehingga tidak hanya terhegemoni oleh janji-janji politik yang sifatnya momentum, impulsif, dan terkesan melangit. Kita sering kali dipertontonkan oleh realitas politik yang membuat kita mengernyitkan dahi dan bahkan mengundang emosi meledak-ledak. Bagaimana politik yang kita lihat, dengan definisi politik yang kita pahami, tidak menemukan kesamaan. Seolah-olah terjadi pembiasan antara idealitas dan praktik politik. Tak jarang, masyarakat menganggap politik hanyalah citra para politisi yang teriak-teriak dengan gegap gempita saat berada di atas podium dan secara paradoksal meminta-minta suara saat mendekati pesta demokrasi.

Agaknya penting untuk menghidupkan kembali nilai-nilai demokratis dan politik yang ideal, setidaknya mengambil dari perspektif tokoh politik yang memberikan angin segar bagi kehidupan politik kita dewasa ini. Berbagai pandangan politik yang berorientasi pada maslahatul ummah (kemaslahatan umat) telah berjimbun jumlahnya di media sosial, buku, dan sejenisnya. Kita terkadang melupakannya. Namun, bukan berarti hal tersebut sepenuhnya salah kita. Untuk menjawab persoalan ini, kita memerlukan sedikit refleksi dan sikap kritis. Toh, demikian juga demi kepentingan kita bersama. Bukan kepentingan segelintir elite, golongan tertentu, dan bukan pula kepentingan juragan, kan? Maka, tidak perlu skeptis dalam melakukannya.

Saya rasa, penting untuk menghadirkan kembali khazanah pemikiran intelektual tanah air, terutama era 90-an. Jika kita melihat karya-karya cendekiawan Indonesia masa itu, wacana kritis dan penuh satire digunakan sebagai kontrol sosial. Sekaliber Gus Dur, Kuntowijoyo, Muchtar Lubis, Goenawan Mohamad, hingga Mahbub Djunaidi menjadi sosok representatif mengawal demokrasi. Pastinya, dengan perspektif berbeda—sesuai ciri khas, bungkusan, dan latar belakang.

Dengan pemahaman yang holistis, koheren, dan proporsional, wacana politik yang dihadirkan mampu memberikan kontribusi untuk keberlangsungan sistem demokrasi Indonesia. Gaya menulis yang kelakar (humor) membuat kritik menjadi seperti camilan renyah, namun tidak menghilangkan esensi kritik yang disampaikan. Tetap kritis, solutif, dan menyenangkan!

Pasca Gus Yahya terpilih menjadi Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), beliau dengan semangat yang berapi-api menggaungkan gerakan Menghidupkan Gus Dur. Tujuan dari gerakan tersebut memuat dua komponen dasar, yakni idealisme kemanusiaan universal dan komitmen dalam menggulirkan transformasi untuk meningkatkan kualitas kehidupan bersama. Bahkan, gagasan tersebut tertulis rapi oleh tangan penulis asal Semarang, A.S Laksana, yang bertajuk Menghidupkan Gus Dur: Catatan Kenangan Yahya Cholil Staquf (2021).

Berangkat dari gerakan yang dipelopori oleh Gus Yahya tersebut, saya kok berinisiatif “menghidupkan” kembali pemikiran Mahbub Djunaidi. Mengapa harus Bung Mahbub (sapaan akrab)? Ya, untuk memulai gerakan ini, tidak perlu muluk-muluk dulu. Nanti, bisa disusul dengan pemikiran dan kiprah cendekiawan yang lain. Karena pemikiran Bung Mahbub—selanjutnya ditulis BM—terlampau kompleks, maka saya hanya mengambil sejumput pemikiran beliau tentang politik melalui beberapa karya-karya beliau yang sungguh ciamik, cair, dan enggak mboseni saat dibaca.

Mengabdikan diri—saya perhalus saja, agar tidak terkesan subversif—di dalam dunia politik membutuhkan mentalitas, integritas, dan intelektualitas yang memadai. Jangan sampai, kita memiliki niat untuk berkontribusi kepada bangsa dan negara, justru terjerumus ke dalam jurang pragmatisisme yang cenderung destruktif. Berangkat dengan tujuan yang mulia, tahu-tahu jadi mafia. Naudzubillah. BM menggambarkan aktivitas politik dengan sangat lugas dan penuh kelakar dalam Politik Tingkat Tinggi Kampus (2017) sebagai berikut:

“Berpolitik rasanya seperti nyopet saja, walau konstitusional. Yang sudah terlanjur kejebur, sudahlah. Yang belum, baiknya menjauh. Yang belum kelewat sangat, mengembangkanlah seperti gabus di anak sungai. Khusus buat mereka yang belum aqil baligh dan para mahasiswa, jangan sekali-kali datang mendekat, karena bisa mudah rusak. Tidak senonoh politik itu, menipu dan bikin isu saja kerjanya, sebentar menyumpah, sebentar mengarling, manipulator majemuk, berisik dan bikin gaduh, menggunting dalam lipatan. Lempar batu sembunyi tangan. Kalau toh terpaksa karena sebab ini atau itu main politik juga, apa boleh buat. Tapi, pakai sebutan lain yang lebih enak jatuh di kuping” (Ini Dia: Pahlawan Teknologi, hlm. 22-23).

Dari uraian BM di atas, kita dapat mengambil beberapa pengertian, khususnya mengenai politik. Pertama, politik dianggap sebagai wilayah yang sangat membahayakan. Mengapa? Sebab, di dalam politik, tidak ada lawan abadi dan tidak ada kawan abadi, yang ada hanyalah kepentingan. Saya dan Anda punya kepentingan yang sama, ya, kita berkoalisi. Jika di pertengahan jalan terdapat pandangan yang berbeda, tinggal ucapkan sayonara. Kita bisa melihat realitas politik dewasa ini, penuh dengan manipulasi, dramatis, dan masyarakat dipertontonkan aksi jegal menjegal antargolongan, kubu, dan partai politik (Par-Pol). Sedangkan, kita pun kesulitan menganalisis dan menerka “realitas” politik di balik—meminjam istilah Baudrillard—simulakra.

Kedua, peringatan bagi seseorang yang belum aqil baligh dan para mahasiswa. Bukan bermaksud melarang atau mengharamkan para mahasiswa berkiprah dalam wahana politik-praktis, melainkan sebuah pernyataan untuk mengingatkan kepada kaum intelektual, bahwa politik yang mereka pahami dengan realitas politik sangat berbeda jauh. Antara idealitas dan praktik merupakan dua hal yang bisa dikatakan berseberangan. Seharusnya, kaum intelektual membuat forum-forum kajian seperti seminar, lingkar studi, dan semacamnya untuk memverifikasi kemampuan calon yang akan mencalonkan diri dalam Pemilu mendatang. Seperti mahasiswa tahun ’60-an. Meraka mengadakan diskusi dan seminar-seminar untuk memberikan sumbangan akademis bagi program berskala nasional maupun regional. BM mengambarkan keadan tersebut seperti perkampungan Robin Hood yang menjadi buah bibir orang banyak, yakni agenda-agenda diskusi yang dilakukan oleh—istilah BM—dewa-dewa intelektual untuk menganggapi problematika sosio-politik. Sebagai mahasiswa, kita juga harus demikian. Mengadakan seminar atau diskusi yang mendatangkan para calon untuk menguji seberapa jauh wawasan mereka tentang kebangsaan, pluralisme, dan politik. Hal ini sangat membantu dalam membangun kehidupan politik yang demokratis.

Ketiga, pentingnya pendidikan politik yang ideal dan pemahaman peran mahasiswa atau pemuda dalam kontestasi politik. BM menekankan hal ini dalam tulisannya yang termuat dalam Humor Jurnalistik (2018), sebagai berikut:

“Apabila seorang anak sudah duduk di kelas 5 Sekolah Dasar, paling lambat di kelas 6, ajaklah dia ke Kebun Binatang. Begitu menginjak pintu gerbang segera bisikkan di kupingnya, Kamu tidak mau dijebloskan ke dalam kandang seperti makhluk-makhluk itu, bukan? Nah, jadilah kamu manusia yang paham politik. Manusia yang tidak berpolitik itu namanya binatang, dan binatang yang berpolitik itu namanya manusia” (Buku Petunjuk Pendidikan Politik Sejak Dini, hlm. 265).

Kendati konteks yang ditulis BM adalah anak usia dini, namun tulisan tersebut dapat diperluas jangkauannya. Mahasiswa tidak boleh anti-politik. Mereka harus memahami situasi dan kondisi sosial, politik, ekonomi, dan kebudayaan yang ada di sekitarnya. Jangan sampai buta terhadapnya. Bisa repot nantinya. Untuk memulainya, cukup dengan menciptakan ruang diskursif dan dilakukan secara konsisten. Kalau kita merasa bahwa kultur akademik kita mengalami regresi, maka perlu kesadaran kolektif bahwa mahasiswa adalah agent of culture. Bagaimana kaum intelektual organik mempunyai semangat nahdlah untuk keberlangsungan budaya akademik yang demokratis dan progresif. Sebelum bergerak lebih jauh, sebagai individu harus memulainya terlebih dulu. Ibda’ binafsik!

Sebagai hidangan penutup, persoalan yang tak kalah penting adalah, bagaimana kita dapat merefleksi diri kita dengan penuh kesabaran. Tidak perlu jauh-jauh membahas bagaimana strategi kita untuk ikut serta dalam kontestasi politik mendatang, namun pertanyakan diri kita masing-masing apa yang bisa saya lakukan sesuai dengan kemampuan yang saya miliki. Sehingga, dalam melangkah, tidak terkesan memaksa dan tunggang langgang, karena ulah kita sendiri.

*Penulis adalah Kader PMII IAI Ibrahimy Banyuwangi. Tinggal di Banyuwangi, Jawa Timur.

Facebook Comments

POST A COMMENT.