Oleh: Moh. Husen*
mepnews.id – Akhirnya, terjadi juga acara ‘Dialog Rabu Pagi’ dengan tema bullying di cafe Wong Osing Rogojampi yang digagas Hari Purnomo dan Athoilah Aly Najamudin. Mereka berdua dosen muda Institut Agama Islam Ibrahimy Genteng Banyuwangi. Mas Hari dosen Fakultas Ekonomi Syariah. Mas Atok dosen Fakultas Dakwah.
Saya cuma pemain belakang. Namun Radenmas Hari–panggilan “keren” Hari Purnomo–berendah hati dengan menulis nama saya sebagai narasumber dalam flyer acara. Saya ini tidak punya potongan kultural maupun akademis untuk di depan. Mungkin sesekali saja di depan. Selanjutnya kembali ke belakang.
Kenapa begitu? Karena menurut hasil identifikasi saya sendiri, saya ini kategori manusia makmum. Saya siap ikut berjamaah, tapi bagian makmum saja. Boleh di depan suatu saat, tapi jangan terlalu sering. Kalau terlalu sering di depan, risikonya saya akan di-bully, difitnah, dan sejenisnya.
Maka saya lebih suka menulis daripada ngomong. Ini bukan kebetulan. Melainkan saya kira hal itu sebagai “tanda” dari Tuhan mengenai sebaiknya saya ini mending di belakang daripada sering di depan. Sebagaimana seekor hewan yang punya sayap pertanda dia harus terbang dan sebaiknya jangan menyelam.
Sebagai manusia makmum, kalau dalam kehidupan sehari-hari kita menjumpai pemimpin yang tidak adil, kebijakannya sering menyengsarakan orang lain, lantas kita sudah capek melakukan perlawanan–baik secara halus maupun terang-terangan–kita masih bisa melawak: “Jangan-jangan pimpinan kita suka pakai narkoba nih, kok sekarang makin goblok dan bodoh…”
Namun berbeda ketika menjadi manusia makmum dalam shalat shubuh. Ini pengalaman pribadi. Kalau habis begadang semalaman, lalu demi mempercepat shalat shubuh agar tak keburu ngantuk: dia bisa melakukannya dengan cara shalat sendirian di rumah. Begitu masuk waktu shubuh, segera shalat, lantas tidur.
Tapi nasib berkata lain ketika begadang sampai shubuh, lalu tembus pagi tiba-tiba diserbu kegiatan yang mengharuskan dia menahan diri untuk tidak tidur. Kemudian bertemu shalat Jumat. Ini gak bisa dikerjakan sendirian di rumah. Harus berjamaah di masjid. Mampuslah si manusia makmum ini.
Dia bertemu dengan imam yang khutbahnya panjang. Gak mungkin dia protes, apalagi dialog tanya jawab. Lalu pas shalat Jumat, surat yang dibaca juga panjang-panjang. Shalat Jumat dia benar-benar kacau. Rasanya ingin misuh saja karena sudah sangat ngantuk. Baru saat itu juga dia ingat bagaimana nasib orang-orang tua yang kakinya lemah.
“Ya Allah, andai saat khutbah Jumat saya boleh melawak kepada teman-teman sebelah, mungkin saya tidak ngantuk-ngantuk amat pas shalat Jumat…” ucap dia setelah shalat Jumat.
Pesan moralnya adalah, untuk Dialog Rabu Pagi yang akan datang, saya usul, judulnya Pemimpin. Selain kita membicarakan calon pemimpin 2024, membicarakan pemimpin shalat juga penting, demi menyelamatkan nasib manusia makmum yang “bermasalah” dengan surat-surat panjang dalam shalat berjamaah.
Jangan tertawa. Tulisan ini memang sebuah kritik secara satir agar manusia makmum seperti saya ini tidak “di-bully” oleh para pemimpin yang seharusnya jangan semena-mena dalam mengambil keputusan yang menyangkut negara dan makmum rakyat banyak.
So, ada yang bilang: “Nasib kita hari-hari ini ditentukan oleh Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi…”
Banyuwangi, 28 Oktober 2023
*Penulis buku Setelah Kalah, Setelah Menang. Tinggal di Banyuwangi, Jawa Timur