Chusnul Mar’iyah Tak Permasalahkan Perempuan Jadi Pemimpin

mepnews.id – Kajian KSK (Kajian Sor Keres) Bojonegoro, pada Selasa Oktober 2022, menghadirkan dua nara sumber perempuan. Dr Sri Minarti (Direktur Pascasarjana UNUGIRI Bojonegoro) dan Chusul Mar’iyah PhD (CEPP Fisip UI Jakarta).

“Sengaja kami mendatangkan mereka berdua, karena tema yang diangkat pada kajian ke-15 adalah tentang ‘Pemimpin Perempuan, Why not?’,” begitu kata Dry Subagiyo, ketua KSK, dalam sambutannya.

Berkesempatan awal, Sri Minarti menyampaikan tinjauan normatif Islam. Al Qur’an surat Al Baqarah ayat 30 menyebut, semua manusia adalah pemimpin yang menciptakan kemaslahatan di muka bumi. Demikian juga hadis yang diriwayatkan Muslim (3408), “Ketahuilah bahwa setiap kalian adalah pemimpin dan bertanggung jawab atas apa yg dipimpinnya.”

Ia lalu memberi contoh pemimpin perempuan. Ratu Bilqis yang cantik jelita dan bijaksana, Asiyah binti Muzahmi yang kemandirian dan ketegasannya berani melawan Raja Fir’aun, hingga Siti Maryam wanita terbaik sepanjang masa. “Perempuan sebagai pemimpin, kata kuncinya adalah mampu memberikan kemaslahatan pada umat manusia,” kata Sri Minarti.

Bagaimana dengan kepemimpinan perempuan di Indonesia? Beberapa definisi berkaitan erat; proses untuk mencapai tujuan bersama, isu gender, ketidakadilan, beban kerja yang lebih dianggap kodratnya.

Juga ada sebagian persepsi, semakin tinggi jabatan kepemimpinan maka semakin rendah atau kecil proporsi perempuan. Contohnya beberapa realitas di sektor pendidikan Bojonegoro. Proporsi perempuan hampir separo sebagai kepala sekolah di tingkat SD, namun makin ke atas (SMP, SMA/SMK) jumlahnya makin berkurang.

“Meski belum proporsional, perempuan berpeluang menduduki berbagai posisi pimpinan struktural dan fungsional,” kata ia.

“Yang terpenting, dalam menghadapi tantangan global diperlukan pemimpin perempuan yang visioner, berfikir inovatif, memiliki manajemen diri yang baik, serta percaya diri, dan memanusiakan manusia,” begitu Sri Minarti mengahiri paparannya.

Chusnul Mar’iyah menyebut pengakuan Indonesia atas perempuan dimulai sejak Sumpah Pemuda pada Kongres Pemuda kedua 28 Oktober 1928. Kala itu, Sumpah Pemuda menyebut ‘Kami Putra dan Putri Indonesia, bertanah air satu tanah air Indonesia.’ Gagasan ini juga dikonkretkan pada Kongres Perempuan pertama 22 Desember 1928.

Pada pereode awal kemerdekaan, dua perempuan menjadi anggota BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) yaitu Maria Ulfah dan Siti Sukabtinah yang sama-sama tokoh Muhammadiyah. Bahkan, jauh-jauh hari Islam sudah menempatkan perempuan sebagai manusia mulia melalui pengakuan atas hak-haknya.

Bagaimana kemudian di ranah politik Indonesia?

Harapan masuknya 30% partisipasi perempuan dalam kesertaannya pada berbagai jabatan politik, termasuk sebagai caleg partai, ternyata masih belum sepenuhnya dilakukan. “Kalau toh dilakukan, perempuan lebih banyak pada nomor urut kedua dan seterusnya, yang secara realita tidak menguntungkan perempuan dengan psikologi pemilih di Indonesia,” kata ia.

“Belakangan, masuknya perempuan yang diharapkan mampu meminimalisir tingkat korupsi, ternyata yang terjadi mereka masuk kubangan juga. Maka godaan politik ‘harta, tahta, wanita’, berganti dengan ‘harta, tahta, dan seks’,” kata Chusnul Mar’iyah yang disambut riuh tepuk tangan yang hadir.

Ia menambahkan, Indonesia sesungguhnya telah memiliki demokrasi yang inheren dengan nilai-nilai yang dimiliki bangsa. Namun, belakangan demokrasi kita lebih bergeser menjadi demokrasi ala Barat yang tidak lain adalah politik liberalisme.

“Ke depan, yang perlu didorong adalah civil and political right, yang ditandai dengan kebebasan berserikat dan kebebasan berpendapat. Artinya, tidak lagi ada intervensi kekuasaan atas hak-hak rakyat, hingga tidak ada lagi pemimpin yang ‘adigang, adigung, adiguna‘. Ke depan, pemimpin bukanlah ‘bendara‘ melainkan pelayan masyarakat alias public servant,” kata ia.

Menanggapi pertanyaan peserta, Sri Minarti menyebut perlu diluruskan tentang pandangan ‘perempuan sholihah’ yang sekadar sebagai ibu rumah tangga. Menurutnya, perempuan sholihah adalah mereka yang selain bermanfaat bagi keluarga juga manfaat bagi umat.

Terkait pertanyaan peserta tentang keikutsertaan dalam konstelasi kepemimpinan, Chusnul Mar’iyah menyatakan, “Bicara capital itu tidak hanya money capital, namun social capital lebih penting. Makna lain, the politic of ideas and the politic of person itu lebih bernilai.”

Meski antusiasme yang hadir masih begitu tinggi, pada pukul 16.00 Abdussyafiq moderator harus mengakhiri kajian publik sore itu. Waktunya sudah habis.

(Yazid Mar’i)

Facebook Comments

Comments are closed.